10. BF.

81 43 14
                                    

Dunia kembali menampar dengan kenyataan yang menyakitkan. Tidak bisa dielak. Apalagi ditolak.

*******

Selamat membaca.
With love, Ais.
_______

Getaran yang berasal dari saku celana tidur yang dipakai sejak pagi, membuat Rion menggeliat tidak nyaman. Pria itu mengerjapkan mata beberapa kali. Memahami situasi selagi mengumpulkan sisa-sisa jiwanya yang sempat tak sadarkan diri.

Rion tanpa sadar tertidur. Sangat nyenyak.

Dengan segera ia terduduk lalu meraih ponsel yang mengganggu tidurnya. Di sana tertera nama "Semula Grahana" yang membuat Rion mengerutkan dahi. 

"Kenapa, Mul?" tanya Rion seraya berjalan membukakan pintu balkon kamar. Seketika angin sejuk menyapu seluruh wajahnya, meringankan kepalanya yang sempat terasa berat.

Terdengar suara tawa ejekan di sana yang membuat Rion semakin heran. Hingga akhirnya suara di seberang sana terdengar setelah berdeham beberapa kali. Namun, itu bukan suara Semula. "Gue sama anak-anak tadi ke kantor. Tapi lo enggak ada. Lo di mana?"

Itu suara Cale Hasemirap. Salah satu teman Rion yang memiliki kepribadian sulit ditangani. Bukan karena egois atau sifat buruknya. Namun, isi kepala dan tindakan nyelenehnya yang bikin geleng-geleng kepala. 

"Kepo." Rion menjawab sekenanya. Pria itu berjalan menuju kursi panjang yang berada di balkon. Matanya menyipit tatkala matahari sore menusuk langsung netranya. 

"Oke. Ceritanya mau dicariin, nih? Yang terdekat dari kantor ... mm ... rumah lo. See you," cerocos Cale dan langsung mematikan teleponnya secara sepihak. 

Rion menatap ponselnya lalu tertawa kecil. Jika pun mereka ke sini, pria itu tidak berniat membukakan pintu gerbang. Ia butuh istirahat. Dengan cepat jari pria itu berselancar di menu kontak, mencari nama seseorang yang bisa diajak bekerja sama.

"Pak Edmu, ini saya, Rion. Kalau ada temen-temen saya yang datang ke sini, jawab aja saya lagi enggak ada, ya," perintah Rion begitu panggilan diterima oleh satpam rumahnya itu.

Suara di seberang sana terdengar kebingungan. Namun, tetap menjawab, "Baik, Tuan muda."

"Thank you." Rion mengakhiri panggilan lantas menaruh gadget ke meja bundar yang ada di sampingnya.

Rion menyelonjorkan kaki dan melemaskan semua ototnya. Sebenarnya tenggorokan pria itu terasa kering, tetapi kakinya terlalu malas untuk beranjak. Ia memilih menutup mata sambil menikmati perpaduan harmonis antara angin sejuk dan sinar matahari sore yang hangat.

"RION AKALANKA, GUE LAPER! BAGI MAKAN DONG!"

Teriakan keras dari bawah sana yang jaraknya cukup jauh, sukses membuat Rion membukakan kedua kelopak matanya. Dengan segera pria itu beranjak dan menyipitkan mata —memperjelas arah pandangannya— ke arah luar gerbang.

Di sana terdapat tiga pria yang duduk di atas motor mereka dengan mesin yang masih menyala. Sementara satu orang lainnya sibuk melambaikan tangan dengan helm yang menutupi kepala. Tidak lupa juga sebuah alat pengeras suara yang berada digenggaman pria itu.

"WOI RION! DI SINI! DI SINI." Pria dengan pengeras suara itu kembali berucap dengan girang sambil melompat-lompat berharap eksistensinya terlihat. 

Rion mau tak mau menelpon kembali Edmu yang tampak berusaha menghentikan aksi demo tunggal temannya itu. 

"Pak, buka saja gerbangnya. Pastikan Cale enggak masuk." Begitu selesai, Rion mematikan ponselnya tanpa menunggu respon Edmu. 

Dari atas, Rion dapat melihat Edmu dengan cepat membukakan pintu gerbang. Menggiring teman-temannya masuk dan dengan cepat pula menutup kembali gerbang, ketika Cale masih sibuk menyalakan mesin motor yang sempat dimatikan.

Semper Paratus Where stories live. Discover now