3. VVIP K-2

105 59 38
                                    

Bagaimana perasaanmu hari ini?

Selamat membaca.
With love, Ais.
_______

Setelah urusannya selesai, Rion dengan sekuat tenaga melangkahkan kakinya yang begitu lemas. Kepala pria itu pun masih terasa puyeng. Tetapi, ia ingin cepat-cepat melihat wajah Hiranya.

Sesampainya di pintu UGD, Rion menarik napas beberapa kali guna menetralkan pernapasannya yang sempat terengah-engah. Tidak lupa juga pria itu merapikan pakaian dan rambutnya agar kalau-kalau Hiranya sadar, penampilannya tetap rapi.

Dengan pelan Rion membukakan pintu bergeser itu. Ruangan itu cukup hening ketika satu kakinya melangkah masuk. Langkah berikutnya, terhenti. Pria yang  ada di dalam dengan posisi membelakanginya itu mengucapkan sesuatu kepada adiknya.

"Lo harus cepet bangun. Lo harus bangkit lagi. Gue percaya lo bisa, lo kan kuat. Kalau lo capek, lo bisa bilang Rion biar dia yang ngurus. Jadiin dia babu lo juga gapapa."

Suara Alam memang kecil. Namun, pada ruangan yang hening dan cukup bergema itu Rion mampu mendengarnya dengan jelas. Maka Rion memilih untuk berdiam diri dan mendengarkan. Dalam hati dia pun menyetujui apa yang diucapkan oleh Alam.

Hiranya boleh berpegang padanya. Hiranya boleh bergantung padanya. Hiranya boleh bersandar padanya. Atau bahkan jika gadis itu mau, ia juga boleh menjadikannya babu seperti yang Alam katakan.

Dia akan menyanggupi apapun yang dipinta Hiranya.

"Lepas ... jangan sentuh."

Deg.

Suara pelan Hiranya saat dia memeluknya beberapa jam yang lalu, tiba-tiba saja terngiang di kepalanya. Tubuh pria itu limbung. Menyadari sesuatu.

Sejenak, Rion lupa jika Hiranya kini membencinya. Ia lupa jika Hiranya tidak akan pernah bergantung padanya. Bahkan melihat dirinya pun mungkin Hiranya enggan.

Pelan-pelan ia bersandar pada tembok. Sangat pelan, sebab ia berharap Alam tak melihatnya.

Suara Alam yang masih berbicara kali ini terdengar samar di telinganya. Kepalanya terasa lebih sakit daripada sebelumnya. Tangannya dengan kuat meremas dada sebelah kiri yang tiba-tiba terasa begitu sakit.

Tidak bisa begini. Tidak bisa di sini.

Dengan pelan Rion menutup kembali pintu itu. Langkahnya terhuyung-huyung dengan tangan masih meremas dadanya yang terasa amat sakit. Beberapa pasang mata menatapnya heran dan iba, tapi ia tidak peduli. Toh, mereka yang menatapnya sekarang pun belum tentu peduli padanya.

Rion memasuki salah satu bilik toilet. Ia bersandar pada dinding. Tangan pria itu kini memukul-mukul dadanya, berharap rasa sakit itu menghilang.

"Gue gagal," gumamnya pelan. "Hiranya maafin abang ... maaf, maaf," lirih pria itu dengan mata yang mulai memanas.

Cairan putih bening lolos mengalir dari ke dua matanya. Ia berjongkok lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri.

Rion telah gagal, namun bisa-bisanya ia lupa fakta itu.
Betapa tidak becus dirinya sampai membuat Hiranya begitu membencinya.
Betapa serakah dirinya hingga setelah semua yang terjadi, pria itu masih berharap Hiranya bergantung padanya.

Rion terus mengutuk dirinya dengan tangan yang masih sangat kuat menjambak rambutnya. Air matanya ia biarkan semakin luruh. Rasa sakit di dadanya semakin terasa.

Rasa mual mendadak menyerang, dengan cepat Rion membuka penutup kloset dan memuntahkan cairan kental putih. Ia memang belum memakan apapun walau matahari hampir menunjukkan keberadaannya. Tangannya terulur menekan tombol flush. Lalu ia keluar dari bilik itu.

Semper Paratus Where stories live. Discover now