SEKIAN lamanya yang bisa dilakukan Taslimah hanyalah termenung memandangi langit senja yang semakin gelap. Dia duduk di undakan tangga terbawah masjid. Mendengarkan semakin sore, suara lalu lintas justru semakin terdengar jelas. 

Taslimah baru mulai masuk ke dalam masjid ketika pengeras suara mulai memutar rekaman kaset pengajian. Sebelum itu, dia mengamati telapak kakinya yang coreng-moreng dan ditempeli debu, merasakan rasa bersalah saat dia menginjak ke lantai keramik yang dingin. 

Dia meletakan buntalannya dan berjongkok. Taslimah mati-matian menjaga keseimbangan saat memakai mukena di dekat keran, merasa malu kalau-kalau ada yang melihatnya terjinjit-jinjit. Setelah yakin dia sendirian, Taslimah menyimpan buntalannya di gerumbulan bunga bonsai rimbun di taman sisi dekat masjid.

Saat azan maghrib akhirnya berkumandang, Taslimah sudah duduk melihat kesibukan yang ada di dalam masjid. Dari sekat yang memisahkan jamaah, dia melihat beberapa lelaki membentangkan kain pesahapan panjang, menghidupkan kipas angin yang menempel di kandelar-kandelar dan mulai mengatur shaf. 

Taslimah melihat para jemaah baik pria dan wanita, berdatangan, menunaikan dua rakaat sholat, saling menyapa dan bersalaman. Dia menunduk semakin dalam, merasakan kecenderungan untuk bersalah karena telah meninggalkan Ebu sendiri. Saat imam melantunkan ayat suci Alquran, Taslimah hampir tersungkur karena kesedihan telah memenuhi hatinya akan ingatan tentang Ebu.

***

Masjid-masjid di perkotaan, baru diketahui Taslimah, selalu dikunci setiap malam. Pintu-pintunya yang setinggi atap rumah Taslimah menutup dan tidak bisa dimasuki selepas suara jemaah sholat isya terakhir meninggalkan masjid. Meski demikian, Taslimah lega karena beranda cukup luas untuk ditempati. Dia mengesampingkan kenyataan bahwa angin terlalu kencang datang dari udara terbuka yang tak dibatasi oleh dinding.

 Taslimah membentangkan sarung kumalnya, menganggap itu cukup untuk menahan dingin lantai di bawah, dan ternyata sia-sia. Satu persatu kain yang ada di buntalannya dibukanya berlapis-lapis, beberapa dikenakannya, dan beberapa diolahnya selimut. Sisanya, kain sarung yang dijadikan buntalan itu digunakannya untuk menutupi kakinya yang terbuka.

Taslimah menutupi wajahnya dan menengok langit malam yang gelap dari balik kain sarungnya. Cahaya lampu jalanan yang menyinari samar hingga ke sebagian halaman masjid memberinya inspirasi untuk mengambil kembali buku pelajarannya dan membaca. Sesekali dia melihat mobil dan motor yang mengalir tak henti-henti dengan suara klakson dan sesekali entakan musik yang lamat-lamat terdengar dari balik kaca-kaca gelap.

Taslimah baru mulai menutup bukunya saat lampu jalanan, entah mengapa, dimatikan. Saat tak ada yang bisa dipikirkan, mau tak mau, dia kembali memikirkan ibunya. Apakah yang dilakukan Ebu saat ini? Apakah dia baik-baik saja? Kegelapan sudah lama menjelang dan siapa tadi yang menyalakan pelita untuk Ebu? Siapa yang menyelimutinya? 

Taslimah ingat ritualnya sebelum kerlip pelita padam, memastikan semua pintu dan jendela terkunci, apakah hal itu dilakukan Ebu? Tentu saja, pikirnya. Ebu memiliki kekuatan. Dia telah membesarkan Taslimah seorang diri semenjak lahir. Ebu menolak pertolongan dari keluarga ayahnya, menolak belas kasih atau tatapan iba yang dilayangkan tetangga kepadanya. Dia bukan saja seorang ibu yang baik tetapi juga seorang wanita yang kuat, dan karena itu Taslimah sangat menyayanginya.

Taslimah berusaha menutup malam itu dengan untaian doa-doa keselamatan untuk ibunya. Ustaz Aliansyah mengajarkan hal itulah, satu-satunya, yang bisa dilakukan seorang muslim saat tiada lagi daya dan kuasa yang bisa dilakukannya untuk menolong ibunya. Doa orang-orang yang menderita selalu didengar Tuhan. Allah maha besar dan maha kuasa. Dia akan menjagakan Ebu untuknya. Ebu akan baik-baik saja.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now