SAAT pertama kali truk kecil itu mencapai Sampang, Taslimah terkagum-kagum oleh keramaian kota. Dia melihat taman dan lapangan, lampu jalan dan toko-toko kecil, kebanyakan bertingkat dua yang menjajakan kipas angin listrik, televisi, meja dan lemari, keramik, pakaian, dan perhiasan. Beberapa gerobak dengan payung-payung beraneka warna mengembang di dekat trotoar, di samping para penjual poster dan striker. Aroma daging panggang menyebar dari warung-warung di pinggir jalan dan Taslimah menyadari sejak pagi, belum ada makanan yang masuk ke perutnya.

Rasa lapar itu bertahan hingga beberapa jam kemudian. Taslimah melihat satu persatu orang-orang menepuk bak mobil truk dan meloncat turun. Kernet yang terus menerus melemparkan barang bawaan mereka dari atas mobil. Dadanya berdebar. Angin menyapu keringat di wajahnya. Truk terus melaju dengan pelan, berputar di beberapa belokan, melewati lampu merah dan hingga terakhir, Taslimah melihat kini hanya tinggal dirinya bersama kernet dan seorang yang kemudian turun di depan sebuah gang.

Saat truk itu melambat, Taslimah melihat kubah masjid besar, masjid terbesar yang pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Dari arah sebaliknya, yang samar karena kepulan asap, orang-orang duduk di tenda-tenda minum dan berbincang-bincang.

Kernet yang sejak dari awal memandangi Taslimah menanyakan tujuannya.

"Saya ingin ke tempat paman saya," sahutnya pelan.

"Di mana itu?"

"Namanya Kalil."

Kernet itu mendecakan lidah dan menggaruk-garuk kepalanya.

"Adik, kota ini luas, tidak seperti Koneng. Ada banyak Kalil di sini, kau harus punya alamatnya."

"Dia juga berjualan pupuk di pasar, dan dia sering..."

Kernet itu memotong ucapan Taslimah, mengatakan bahwa yang diperlukannya adalah alamat. "Semua rumah di kota ada alamat, kalau tidak kita tidak bisa menemukan pamanmu. Pasar ada banyak sekali di sini, penjual pupuk bukan hanya satu."

Taslimah terdiam. Dia melihat dari dinding bak truk itu mereka telah melewati lapangan kembali berputar. Seorang wanita menggandeng tangan seorang anak di trotoar. Seorang pria yang menempelkan tangannya ke teinga dan berbicara. Anak-anak lelaki sepantaran dirinya mengebut dengan sepeda mereka dan tertawa-tawa.

"Adik,..." ucap kernet itu tapi Taslimah tak mendengarnya.

Truk itu berhenti. Sang kernet turun dan berbincang-bincang dengan sopir, seorang lelaki dengan kaos putih yang berkeringat dan handuk kecil di lehernya. Mereka menatap Taslimah dan kembali berbicara. Lalu, kernet itu melambaikan tangannya dan berputar kembali. "Turunlah," katanya. "Kau pasti belum makan."

Taslimah memegang erat buntalannya dan tersurut-surut mengiringi dua orang lelaki itu. Mereka masuk ke dalam sebuah kedai makan di kawasan dekat masjid yang tadi dilaluinya. Bau harum daging memenuhi setiap sudut tempat itu. Mereka duduk di sudut warung dan sang kernet menarik kursi untuk Taslimah. Dia memanggil pelayan untuk memesan nasi dan sejumlah sate. Kepada Taslimah, dia menyorongkan minuman pertama yang dibawa pelayan, teh hangat yang uapnya masih mengepul di permukaan airnya. "Minumlah, supaya kau tidak masuk angin, sebentar lagi malam di sini," ucap pria itu.

Taslimah mengucapkan terima kasih.

Saat menghadapi makanan yang dibawakan kepadanya, Taslimah berlama-lama merenungi piringnya. Dia memikirkan berpuluh-puluh kilometer dari tempat ini, di sebuah gubuk yang terletak di Koneng, apa yang bisa dimakan Ebu? Taslimah mengingat persedian beras yang kian menipis dan bagaimana beberapa hari ini mereka hanya makan dengan lauk ubi dan daun singkong serta tempe yang telah bercendawan yang dibawa Ebu terakhir kali dia pulang bekerja.

"Makanlah," kata kernet itu lagi, sedari tadi memandanginya.

Taslimah mengangguk dan sepanjang suapan nasinya, dia merasakan betapa tersiksanya makan dengan ingatan tentang ibunya. Saat mereka telah selesai, kernet dan sopir itu kembali berbicara. Taslimah mendengar mereka akan pergi ke suatu tempat di kota itu. Suatu tempat yang asing.

"Adik, bagaimana kalau kau kami titipkan di masjid itu, ada ruangan luas di berandanya kau bisa tidur di sana," kata sang sopir. Kernetnya melihatnya tanpa berkata-kata.

Lagi-lagi, Taslimah tak berdaya untuk mengatakan apa pun kecuali mengucapkan terima kasih. Mereka keluar dari warung itu dan kernet itu membawanya menyeberang jalan. Di depan gerbang, dia menunjuk masjid dengan kubah megah. "Esok mungkin atau dua hari lagi keadaan mungkin sudah aman di Koneng, aku berjanji akan membawamu kembali. Sekarang kami akan memuat barang dulu."

Taslimah mencium tangan pria baik hati itu dan melangkah masuk ke dalam pagar masjid.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now