"SYAMSAL Hawa."

Mom berdiri. Sejenak menarik-narik ujung blusnya.

"Anda?" tanya wanita dengan kaos berkerah hitam itu. Dahinya berkernyit.

"Bukan," kata Mom. Dia menunjuk Hawa yang masih merapikan lipitan di kerudungnya. "Anak saya."

Wanita itu tersipu.

"Ingat," bisik Mom kepada Hawa. "Kau harus santai dan jangan tegang, Mom yakin mereka pasti memilihmu."

Hawa berdiri, menyejajari beberapa perempuan lainnya yang saat itu sedang berdiri dengan gelisah. Dia melempar senyuman kepada wanita penerima yang sedari tadi terus menatap wajahnya dan kadang-kadang berbicara di wireless mini yang ditempelkan di telinganya.

Tetapi meski demikian, pandangan mata lainnya telah menantinya di dalam ruangan itu. Hawa melihat ada tiga orang-dua wanita dan seorang pria-yang duduk di belakang meja panjang. Semuanya mencoba menjatuhkan kesan pertama dari penampilannya. Hawa tahu mereka memperhatikan kerudung yang membungkus wajah semi orientalnya.

"Nama Syamsal Hawa." Kalimat itu lebih sebagai pernyataan, alih-alih pertanyaan. Tetapi meski demikian, Hawa tetap mengangguk. Dia terus mengulum senyum.

Warna hitam rambut wanita yang bersuara tadi terlihat ganjil dengan poni rapi yang jatuh lurus di keningnya. Sebuah wig, pikir Hawa. Dia mengenakan jins Indigo gelap, dan kemeja bahan dari silkie halus berwarna gradasi yang dibuka tepat di belahan dadanya. Sepasang anting-anting Dior menjepit masing-masing ujung telinganya. Saat dia mengangkat tangannya, menyuruh Hawa duduk, Hawa bisa melihat semburat warna biru menghiasi kuku tiga jari terpanjangnya yang lancip.

"Saya Cecil, Putri Nusantara 2017 dan itu," dia menggoyangkan kepalanya ke rekan di sampingnya, "Shantia dia dapat di 2018." Wanita bernama Shantia itu mengenakan T-Shirt hitam ketat pendek dan rambut yang diikat ke belakang topi. Kulitnya seperti baru habis dibangkitkan dari hibernasi di Tharmes Marines atau setidaknya Day Spa.

"Dan, Anda beraharap akan meraih tahun ini? Anda mengetahui ini adalah Putri Nusantara?" ucapnya. Lagi-lagi di telinga Hawa itu terdengar sebagai pernyataan.

"Kenapa Anda ingin mengikutinya?"

Kali ini, itu memang pertanyaan.

"Sebenarnya ini karena ibu saya, Mom...."

Tatapan acuh dan cenderung menyepelekan itu telah berganti dengan perhatian sepenuhnya. Mereka saling menoleh penuh minat. Tak pernah ada peserta yang menyebut ibunya dalam kontestasi, semuanya berusaha terlihat confident dengan dirinya sendiri. Hawa melihat tangan-tangan yang memegang pulpen terkembang. Sebuah seringai tak kentara muncul di bibir pria yang di sisi kanan, Hawa baru sadar, Cecil tidak memperkenalkan pria itu.

Sekarang Cecil terlihat kikuk, dia seperti dipermainkan.

"Anda main-main?"

"Tidak selalu."

Hawa mendengar geremangan samar. Telinganya juga menangkap gelak kecil dari satu-satunya pria di ruangan itu.

"Jadi, kenapa Anda ingin mengikuti ajang Putri Nusantara?"

"Saya telah menjawabnya, karena Mom saya," ucap Hawa dengan antusias yang tak berkurang. "Sejak kecil Mom suka mengirim foto saya ke semua majalah keluarga yang terbit di Jakarta. Benar-benar semua majalah! Saya tak heran, jika bahkan sampai saat ini, Mom masih melakukannya."

"Majalah fauna juga dong?" timpal Cecil.

"New Species?" sahut Shantia refleks.

Mereka tergelak. Setidaknya dua dari mereka. Bahkan kepalsuan bisa dicium dari suara tawa mereka, pikir Hawa. Dia menahan seluruh otot-otot wajahnya untuk tetap bergeming. Opa telah melatihnya. Dia tak akan memberi sedikit pun ekspresi terluka kepada orang-orang yang mengintimidasinya. Sampai akhirnya, mereka terdiam sendiri karena merasa tak menemukan panggung yang lebih baik.

Cecil memegang kening dan menutup matanya dengan ujung jarinya. Dia melirik, memberi kode dengan matanya untuk menyerahkan urusan itu ke Shantia.

"Kenapa Anda jujur?" Akhirnya Shantia bertanya.

Hawa mengernyitkan kening. Memiringkan kepalanya.

"Biar saya yang jawab?" ucap Cecil, "Karena Anda memakai kerudung, karena dia..." Cecil berdehem kepada Shantia, "seorang muslimah."

Cecil memandang Hawa dengan tatapan menang.

"Tidak," jawab Hawa perlahan. "Saya jujur karena saya memang biasa jujur, bukan karena saya..." Hawa mengikuti aksen wanita itu, "...seorang muslimah."

"Oh, ya?"

"Ya. Anda menanyakan kepada saya, kenapa saya mengikuti kontes ini dan saya mengira Anda memerlukan jawaban yang jujur, kan?"

Meski tidak serempak, mereka mengangguk.

"Maka, saya menjawabnya dengan jujur. Saya mengikutinya karena Mom saya menghendaki saya ikut ini."

"Apakah Mom Anda selalu melakukannya untuk Anda, menghendaki Anda menjadi apa yang dia inginkan?" tanya Shantia.

"Tidak selalu. Dia membebaskan saya melakukan apa yang saya kehendaki, saya memakai kerudung ini sejak kecil tanpa disuruh Mom."

Sejenak tidak ada yang berkata-kata.

"Baiklah," kata Shantia lagi. Dia mengetukkan pulpennya ke kertas lebih keras. "Jadi Anda punya prinsip. Anda memiliki kepribadian dan karakter yang bagus. Wajah dan penampilan Anda menarik. Sekarang, mari kita tes apakah pengetahuan Anda sebaik itu!"

Kemudian mereka menanyakan beberapa pertanyaan kepada Hawa. Pengetahuan dasar yang telah dihapalnya sejak kecil dengan buku-buku populer, buku-buku Opa. Dia sudah tahu, nama ibukota, suku dan rumah adat. Juga pertanyaan klise tentang kebudayaan dan pariwisata yang sering ditanyakan dalam kontes yang ditayangkan di televisi. Hawa heran mengapa mereka masih menanyakannnya jika para peserta telah mengantisipasi jawabannya. Terakhir, pria jangkung yang mengenakan kemeja kotak berwarna merah marun yang sejak tadi diam menanyakan,

"Ini adalah Putri Nusantara, Jika terpilih Anda harus mewakili identitas Indonesia. Kerudung itu, Anda pasti tahu, bukan bagian dari kebudayaan kita."

Dalam lirikannya, Hawa bisa melihat Cecil mengulas senyum beracunnya. Dia mendapatkan anginnya lagi.

"Oh ya," Hawa tersenyum lebar. "Anda bisa mengatakannya kepada saya sekarang, apakah memakai rambut palsu hitam bawah matahari Indonesia yang tropis, termasuk dari kebudayaan kita?"

Cecil, wanita yang berambut poni itu menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada yang bisa keluar dari mulutnya. Matanya terbelalak. Dia seperti seseorang yang melihat hantu. Rekannya meletakkan pensil dan tertawa tertahan. Shantia bahkan memukul-mukul kertas di mejanya dengan tangannya.

"Syamsal Hawa, saya rasa, Anda bisa keluar sekarang," katanya tersedak-sedak oleh suara gelaknya.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now