DARI semua waktu yang dimilikinya setiap hari, tidak ada yang lebih membuat Taslimah cemas selain saat pelita di gubuknya meredup. Karena dengan begitu, Taslimah tahu, dia harus mulai mengemasi segalanya di atas meja. 

Buku-buku tulis, pensil, penggaris, dan setip dengan cepat dimasukan. Taslimah harus buru-buru memberi tanda dengan lipatan kecil di ujung buku pelajarannya yang telah menguning, kemudian memastikan dia telah meletakan pensil dengan benar. Ujung pensil yang runcing akan menusuk kulit sak buram yang membungkus buku-bukunya jika dia meletakannya keliru. 

Semuanya harus dilakukan dengan cepat, karena dia masih harus menggantung plastik itu di dinding gubuk. Beberapa waktu lalu, Ebu terpaksa mencari tas plastik lainnya karena tas itu robek terkena paku saat Taslimah buru-buru menggantungkannya.

Biasanya dalam pendar cahaya yang mulai memudar, Taslimah akan berdiri beberapa saat di ruangan tengah gubuknya. Dia harus menajamkan mata, memastikan semuanya telah teratasi dengan baik. Pintu harus sudah dipalangkan, jendela dikunci. Kursi kayu yang tadi didudukinya, satu dari tiga kursi yang dimiliki Ebu, dimasukan ke satu-satunya meja di gubuk itu. 

Setelah semuanya beres, dan selalu pada saat-saat daya penerangan mulai melemah, barulah dia bergerak ke ranjang di di dalam ruangan yang disekat sebuah lemari perkakas kecil, membetulkan selimut Ebu yang sejak lepas Isya telah tertidur, dan kemudian akhirnya berbaring di dekatnya.

Kadang-kadang, sebelum kegelapan akhirnya menelan seluruh tanda kehidupan di gubuk itu, Taslimah memiliki sedikit waktu untuk melihat sekeliling kamar, ke dinding bambu yang kusam dan belepotan serbuk. Tidak ada banyak perabotan. Dia hanya akan melihat cahaya terakhir yang memantul dari foto hitam putih ayahnya yang digantung di sana. Kata Ebu, itu satu-satunya foto yang tersisa dari Abi. 

Ayahnya duduk setengah bersila di depan sebuah lemari, mengenakan kemeja gelap, kepalanya dibelit sejenis kain tepat di ujung pertemuan kening dan rambutnya. Sebuah serban bermotif garis melengkung tersampir di bahunya. Tepat di depannya sebuah rehal, kayu bersilang untuk meletakan kitab suci, terbuka. Di foto itu Abi, mendongak, mengangkat dagunya dan tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Seberkas cahaya yang datang dari jendela membuat sisi wajah Abi lebih terang.

Kata Ebu, wajah Abi sangat mirip dengan Taslimah. Hidung yang mancung, mata yang hitam dan teduh dengan alis lentik dan sisi tebal di ekor alis. Dulu sekali, saat usia Taslimah baru menginjak tujuh tahun, Ebu selalu menceritakan tentang Abi. Dengan pelan, seiring suara-suara jangkrik di sekeliling gubuk dan gemerisik ranting pohon yang mengetuk-ngetuk jendela, Ebu mengatakan Abi adalah lelaki yang baik. 

"Kami bertemu di pesantren di Koneng, Abimu adalah seorang Gus."

 Saat Taslimah menanyakan arti kata itu, Ebu menjawab Gus berarti putra seorang kyai pemilik pesantren. "Dia sangat pintar, Abimu itu, nah kau lihat itu," Ebu menunjuk rak dengan jempol yang dimiringkan, tempat kitab suci diletakan, "Abi masih muda saat bertemu Ebu, orang-orang mengatakan dia telah hapal separuh dari isi kitab itu."

Ebu mengatakan waktu itu usianya hanya terpaut sedikit di bawah Abi, tapi Abi sudah menjadi gurunya di pesantren. "Pada suatu waktu, dia mengganti seorang guru lain yang mengajar bahasa arab di kelas putri, dia datang dengan serban yang membaluti lehernya dan tampak malu-malu. Aku berada di depan kelas, dan itu adalah pertama kali kami bertatapan...."

Taslimah suka cara Ebu mengisahkannya. Dia akan memandangi wajah Ebu dari bawah, dari pangkuan tempat Taslimah menyandarkan kepalanya. Dagu Ebu yang saat itu masih mulus dan lancip, bergerak-gerak dengan pelan, matanya berbinar-binar, seperti seorang remaja yang baru dilanda cinta pertama. 

Dan memang, meski dia telah mendengarnya berkali-kali, Ebu akan menceritakan bagaimana dia pertama kalinya jatuh hati dengan Abi. Bagaimana Abi membuat hatinya berbunga-bunga dengan surat yang dikirimkannya.

"Dia memberiku sebuah buku tebal berwarna biru. Sebuah kamus. Dan kemudian menghujaniku dengan syair-syair berbahasa arab yang harus kucari artinya dalam kamus itu. Dia mengirimkannya dengan sembunyi-sembunyi ke seorang temanku."

Saat Ebu menyelesaikan pelajarannya di pesantren itu, Ebu akhirnya melamarnya, atau seperti itulah yang pernah didengar Taslimah. Mereka menikah di rumah salah seorang paman Abi yang berada di Sampang. 

Saat itu, kata Ebu, hanya ada beberapa orang yang hadir. Taslimah pernah bertanya tentang hal itu, apakah kakek dan neneknya, yang berarti ayah dan ibu dari Abi memeluk mereka dan membiarkan tangannya dicium seperti yang pernah dilihat Taslimah di pernikahan Rastu, kakak Selma, salah seorang temannya di sekolah. Ebu selalu mengatakan dia tidak ingat. Kata Ebu, waktu itu, kakek dan neneknya tidak datang karena ada acara di pesantren.

Kelak saat usianya memasuki sembilan tahun, barulah Taslimah mengetahui kisah sebenarnya. Bahwa tidak ada acara perkawinan di pesantren seperti yang dikatakan Ebu. 

Melalui Selma, anak dari Bu Baryah, wanita yang terkenal suka menggunjing di desa itu, Taslimah mengetahui bahwa perkawinan ibu dan ayahnya tidak direstui oleh kakeknya sendiri. Abi telah dijodohkan dengan putri seorang kyai lainnya di Jawa Timur. 

Dan, melalui Selma pula, yang tidak bisa menahan mulutnya, Taslimah tahu bahwa ketidaksetujuan kakeknya pula yang membuat Juragan Janto, orang terpandang di desa itu, tempat bernaung Ebu saat remaja, akhirnya mengusir Ebu dari rumahnya meski mereka masih memiliki pertalian darah.

Pertama kali mengetahuinya, Taslimah menanyakan hal itu kepada Ebu. Dia ingat senja yang suram itu, saat Ebu kehilangan kalimat-kalimat indah dalam kenangannya tentang Abi. Ebu, tanpa sadar, mencengkeram lengan Taslimah, memaksanya mengakui dari mana dia mengetahui semua kabar itu. 

Saat mendapatkan jawaban Taslimah, Ebu akhirnya melepaskan cengkeramannya dari lengan Taslimah. Dia bersandar pada sandaran dipan dengan air muka yang lesu dari keyakinan yang telah runtuh.

Taslimah merasa bersalah, seakan-akan dia tidak berhak untuk mengatakan semua itu kepada ibunya. Seakan-akan satu-satunya yang harus dipercayainya adalah versi cerita dari Ebu. "Tahukah kau, apa yang dikatakan Abi tentang dirimu?"

Taslimah memusatkan perhatian. Dengan wajah berdosa, dia bertanya hal yang pernah didengar ditanyakan Selma kepada ibunya. Bahwa laki-laki lebih mendapatkan perhatian karena mereka terlahir sebagai laki-laki.

"Apakah dia mencemaskan karena aku adalah perempuan?"

"Tidak, tidak pernah begitu." Setitik cahaya merona di wajah ibunya, "Ayahmu, semoga Allah membalas segala amal baiknya, entah bagaimana tahu bahwa kau adalah seorang perempuan." Kata Ebu, dia bahkan telah memberi nama untuknya sewaktu kehamilan Ebu memasuki usia 7 bulan.

Taslimah, kata Abi, adalah nama yang baik. Artinya keselamatan dan keindahan.

"Begitulah," kata Ebu, "nama itu benar, kau dilahirkan dengan selamat, meski ayahmu tidak pernah melihatmu."

Ebu menarik kain batik di sandaran dipan dan mengusapkannya ke peluh di wajahnya. Taslimah melihat semburat kelabu di rambut Ebu. Dia terlihat letih dan tua. Dia terus menggumamkan sesuatu yang tidak lagi didengar Taslimah. Mereka akan saling berpandangan, lalu dengan begitu saja, Taslimah menangis. Air matanya membasahi dagunya, menetes ke alas tidur mereka.

Itu terjadi saat usia Taslimah sembilan tahun dan sejak itu, Ebu tidak pernah menceritakan kisah tetang Abi.

Tidak pernah lagi.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now