Chapter 36

4.8K 1K 94
                                    

Usai pamit dengan seizin Bu Delisa, Isa tidak pergi menuju ruang OSIS. Alih-alih, dia pergi ke atap, meniti tangga berdebu satu demi satu dan merasakan perutnya mulas karena gugup.

Seperti yang ia duga, Aksal berada di sana, sedang menyembunyikan sebelah tangannya di saku sedang tangan lain memegang sebuah buku, memunggungi Isa sembari menatap pemandangan di bawah. Sekilas Isa melihat sofa yang kemarin mereka duduki masih ada di sudut, dibungkus terpal kecil sementara proyektor dan lampu-lampu telah menghilang. Pun dengan meja yang penuh oleh lilin dan makanan. Sebagian besar benda-benda itu menghilang, tetapi kenangannya tinggal.

Isa menggigit bibir, pemandangan ini hanya mengingatkannya pada malam itu. Dan mengingat malam itu membuatnya merasa ingin kabur.

Namun ia tidak bisa melakukan itu sekarang. Jika ia kabur, Aksal akab mencari cara lain untuk menemukannya. Dan Isa tidak mau mengambil resiko namanya diumumkan lewat pengeras suara ke seantero sekolah hanya karena masalah demikian. Perlahan, ia pun berjalan mendekati Aksal di sudut atap.

"Saya seharusnya laporin kamu,"katanya seraya menumpangkan lengan pada beton pembatas atap.

Aksal menoleh, keningnya berkerut.

"Untuk penyalahgunaan jabatan."

Lalu, detik berikutnya, Aksal terkekeh. Ia meletakkan bukunya, mengusap tengkuknya pelan dan berdiri menghadap Isa. "Kalau enggak gini, kamu nggak datang."

Isa tersenyum, tetapi tidak membalas. Ia mulai memutar otak, mencari sesuatu untuk dikatakan.

"Jadi ... ada apa?" tanyanya. Ia tahu dan selalu tahu bahwa dirinya tidak pandai berbasa-basi, bahkan saat ini.

Dan Aksal langsung menembaknya dengan pertanyaan, "Kenapa kamu ngehindarin saya?"

"Saya nggak menghindar," jawab Isa, sedikit terlalu cepat, terlalu defensif.

"Bohong. Sekarang kamu bahkan menghindari mata saya."

Ada kilat menggoda di mata laki-laki itu, membuat Isa frustrasi. Sudah kepalang basah, Isa akhirnya menatapnya, tepat di mata. Seolah ingin membuktikan bahwa dia bisa menatap Aksal tanpa merasakan apa-apa. Dan dia salah. Dia menyesal melakukannya. Karena, kenapa jantungnya menjadi berdebar kencang? Terutama, ketika Aksal tersenyum seperti sekarang.

"Kamu lucu," katanya, terkekeh geli.

"Apanya? Saya bukan pelawak!"

"Ngambeknya juga lucu."

Isa mendengkus, memalingkah wajah dengan tangan terlipat di dada, memancing kekeh geli dari Aksal. Angin bertiup pelan di atap, menerbangkan helai rambut Isa. Aksal perlahan mendekat. Tangannya terulur, ingin menyingkirkan rambut itu dari wajah Isa. Namun jemarinya yang samar menyentuh pipi gadis itu membuat Isa menoleh. Tatap mereka kembali bersirobok, dengan jarak yang dekat.

Keduanya, secara otomatis menjauhkan diri. Canggung kembali mengisi.

Dan mungkin, bel yang kemudian berdentang, menandakan jam pelajaran telah berakhir menjadi penyelamat di antara keheningan itu. Aksal memeriksa jam tangannya.

"Sayangnya, saya harus pergi sekarang. Ada latihan," katanya.

Isa mengangguk. "Oke."

Tetapi, Aksal masih belum beranjak. Seolah masih ada yang mengganjal. Ada sesuatu ... yang belum dia sampaikan, yang kesulitan dia sampaikan.

"Saya senang kamu datang," katanya akhirnya. "Tolong ... jangan menghindari saya lagi. Nanti, saya nggak tenang."

Isa menatapnya kembali. Kali ini, tidak ada di antara keduanya yang mengalihkan pandang.

"Saya ... cuma nggak tahu, harus ngomong apa," balas Isa.

"Kamu nggak perlu ngomong apapun, nggak perlu ngelakuin apapun. Cukup ada, di tempat yang bisa saya lihat."

Ia tersenyum. Lalu, langkahnya mundur perlahan, seolah belum rela untuk berbalik pergi. Yang pada akhirnya tetap harus ia lakukan jua. Meninggalkan Isa di belakang dengan degup jantung yang tak beraturan. Dengan sebuah perasaan baru yang sulit diartikan. Perasaan hangat, nyaman, perasaan yang untuk pertama kalinya dia kenali; perasaan dibutuhkan dan membutuhkan, diinginkan dan menginginkan.

Isa baru akan beranjak pergi dari situ ketika sudut matanya menangkap bayangan benda di atas pembatas. Ia berbalik untuk mengamatinya, dan menemukan sebuah buku catatan.

Pada bagian sampul, tertulis dengan rapi nama Pangeran Aksal Adiwilaga. Penasaran, Isapun membuka lembar di dalamnya, satu demi satu. Aksal memiliki tulisan tangan yang rapi dengan huruf-huruf kurus, menyenangkan untuk dilihat. Ada sejumlah tulisan yang mirip puisi, berjudul mentahan 1, mentahan 2 dan seterusnya. Ada juga catatan kunci nada, cukup banyak. Isa menyimpulkan, buku itu adalah buku catatan bermusiknya. Mungkin dia mencatat lagu The Effects di sana. Dan mengingat Aksal sekarang akan pergi ke ruang musik, sepertinya ia akan membutuhkan buku catatannya ini.

Maka, dengan cepat Isa mengubah tujuannya. Ia bergegas turun, bukan untuk kembali ke kelas, melainkan ke ruang latihan musik.

***

Berdiri di depan ruang latihan musik, Isa mulai menyesali keputusannya. Terakhir kali ia berada di sini adalah untuk mengantarkan bubur, itupun setelah menabalkan muka setidaknya lima senti saat menghadapi Pandawa. Ia pikir, itu akan menjadi kali terakhirnya berada di sini, harus menjadi kali terakhirnya.

Nyatanya ia salah.

Di dalam, terdengar suara obrolan beberapa orang. Sepertinya mereka tengah berkumpul. Ia ingin pergi, tetapi mengingat buku catatan itu mungkin sangat penting bagi Aksal, ia pun menghela napas panjang dan meletakkan buku jarinya di pintu, berniat mengetuk.

Itulah saat satu kalimat yang terdengar dari dalam menghentikannya.

"Jadi lo bener pacaran nih, sama cewek itu? Siapa namanya? Ilsa?"

"Isa." Itu suara Aksal.

Dan mendengar namanya meluncur oleh Aksal membuat perasaannya campur aduk. Sebagian dirinya menyukai saat Aksal menyebut namanya. Namun sebagian yang lain merasakan ... sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Iya, itu. Serius, bro? Maksudnya, kan lo nggak kenal. Dia nembak lo gitu aja. Dan lo nerima dia gitu aja?!"

"Hm. Emangnya kenapa?"

"Ya anehlah, anjir! Gila lo! Gue aja minimal PDKT itu dua hari! Ini ujug-ujug lo main iya-iya aja yang nembak."

"Dia nembak gue di lapangan, kalau lo lupa. Di depan semua orang."

"Ya terus?! Lo terima dia karena kasian emang, hah?"

"... Iya."

Sampai di situ, Isa menjatuhkan buku di tangannya ke lantai. Dia tidak mendengarkan lagi. Satu kata itu, satu kata persetujuan itu, sudah cukup untuk menjawab pertanyaan yang kadang muncul di kepala.

Semuanya masuk akal sekarang. Titik satu menyambung pada yang lainnya. Dan semua itu hanya mengarah pada satu kesimpulan; Isa terlalu naif. Terlalu ... bodoh.

Seperti yang dikatakan ibunya, dia memang anak bodoh.

Isa mundur perlahan, berbalik, lalu berlari menjauh secepat yang dia bisa. Setitik air mata jatuh di pipinya.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang