Chapter 15

5.6K 1.1K 122
                                    

Kangen, nggak? 

***

"Jadi, rumah kamu dimana?"

Setelah ia menanyakan pertanyaan yang sama tiga kali, aku menyerah dan memberitahunya. Dia mengangguk, mengatakan dia suka lewat jalan situ jika ingin main futsal bersama teman-temannya yang lain. Lalu, kuberitahu dia agar menurunkanku di depan komplek saja. Dia tidak menjawab lagi.

Mengantarku pulang .. entah apa yang ada di pikirannya, aku masih tidak mengerti. Tidak ada lagi orang untuk menyaksikan perbuatannya itu, jika niatnya memang ingin membuatku berhenti digosipkan. Dia juga tidak merespons ketika aku memintanya menurunkanku di pinggir jalan.

Aksal mengemudi dengan kecepatan sedang, sesekali meliuk di antara mobil-mobil untuk melaju lebih cepat. Di saaat seperti itu, aku berusaha untuk mempertahankan keseimbangan duduk di atas motornya tanpa berpegangan padanya. Tidak pada pinggang, tidak pada bahu, tidak di manapun, hanya berpegangan erat pada badan motor.

Tiba-tiba, dia memperlambat laju motor, lantas berhenti di tepi jalan yang teduh.

Aku menyatukan alis ketika dia membuka kaca helmnya dan menoleh padaku.

"Kamu lapar, nggak?" tanyanya tiba-tiba.

Ya, ini sangat tiba-tiba. Setelah hanya saling diam beberapa menit lalu, seolah begitu acak, dia bertanya demikian.

"Enggak." Aku menjawab. Kalaupun lapar, aku tidak ingin mengatakannya. Yang kuinginkan hanya cepat-cepat tiba di rumah dan melepaskan diri dari situasi canggung ini.

"Mau es krim?" Dia belum menyerah, rupanya.

Dan lagi, aku menggeleng. Tetapi kali ini dia seperti tidak memedulikan jawabanku. Tanpa meluangkan waktu untuk mendengarku, dia telah bangkit dari motornya dan berjalan menghampiri sebuah gerobak es krim giling. Aku baru menyadarinya sekarang, keberadaan gerobak itu, serta kakek-kakek penjual es krim yang berdiri di belakang gerobak, sedang mengipasi diri dengan sebuah topi lebar.

Padanya, Aksal memesan dua cone es krim.

Sementara aku masih berdiri di sisi motornya, menatap laki-laki itu menyerahkan uangnya dengan sopan, selembar seratus ribuan, dan menolak kembalian.

Dia tidak melakukannya di depan kamera, atau untuk dilihat banyak orang. Tetapi sebagian diriku curiga dia hanya melakukannya karena kasihan. Seperti apa yang dia lakukan padaku. Apa dia selalu seperti ini? melakukan amal setiap harinya?

Dia terlihat mengatakan sesuatu pada kakek itu, lalu mereka tertawa. Aksal ... punya tawa yang membuatnya tampak seperti orang paling aman untuk dibersamai. Aku tidak suka tawanya. Jadi, aku mengalihkan pandang.

Secara acak pandanganku terlempar ke badan jalan. Pada sebuah motor Beat yang warna birunya agak memudar. Aku mengenali kedua orang yang duduk di atas motor itu. Dengan sepenuh hati.

Apa yang Bia lakukan sekarang? Dia bilang, dia mengikuti ekskul hari ini sehingga meminta supir kami untuk menjemput nanti sore. Tetapi aku melihatnya bersama Pandawa, memeluk perut cowok itu erat dengan wajahnya yang setengah bersandar pada punggung Pandawa.

Pembohong kecil. Sudut bibirku terangkat. Jika Papa mengetahui ini ... habislah ia.

Lalu, sesuatu yang dingin menyentuh pipiku, mengacaukan lamunanku. Aku menarik diri dan menoleh untuk menemukan Aksal berdiri di sisiku. Satu es krim di tangannya dan satu es krim lagi ia sodorkan padaku. Tanpa banyak pilihan, aku pun menerima es krim itu.

Es krim durian, yang tidak bertekstur selembut es krim di toko-toko. Tidak seperti es krim yang suka dibawakan Papa dan dicintai Bia. Ini seperti es krim yang kubeli di masa kecilku setelah mengais dan mengumpulkan recehan dari saku baju Mama atau mendiang ayahku. Ini es krim yang akrab dengan lidahku. Bukan es krim-es krim mahal itu.

"Suka?" Aksal bertanya dan aku hanya mengangguk.

"Syukurlah. Saya takut kamu nggak suka durian."

Aku tidak menjawab, hanya menyesap es krimku pelan-pelan. Pandangan kubuang ke arah jalan, mengamati lalu lalang kendaraan secara tidak tentu.

Hingga, pertanyaannya membuyarkanku.

"Boleh saya sentuh kamu?"

Tunggu ... Apa?! Apakah dia baru saja meminta izin untuk menyentuhku? Kecurigaanku mungkin terlihat jelas di wajahku, sehingga dia terkekeh.

Lalu, jarinya menyeka pipiku. Sentuhannya ringan, tetapi terasa aneh. Membuat otakku berhenti berfungsi selama sekian detik. Membuatku melangkah mundur.

Ada noda es krim yang dapat kulihat kemudian di ibu jarinya. "Ini, maksudnya," jelasnya, dengan senyuman.

Kuberi sedikit jarak yang lebih lebar di antara kami di sisi perjalanan setelah es krim kami tandas. Jika terlalu dekat, aku dapat merasakan panas tubuhnya meski samar. Sesekali kadang aku dapat menabrak punggung itu. Kami dapat bergesekan dan itu tidak sehat. Itu akan mengingatkanku pada saat jemarinya menyentuh pipiku dan debar tidak masuk akal di jantungku. Itu gila. Itu asing. Itu adalah sesuatu yang ingin kuhindari.

Aku masih menyukai Pandawa, dan hanya dia.

Di sisa perjalanan ini pula, Aksal melajukan motornya lebih pelan. Nyaris terlalu pelan sehingga mungkin aku terusik, dan pertanyaan meluncur begitu saja sebelum dapat kutelan kembali.

"Kenapa ... pelan banget, jalannya?"

Ia menoleh sedikit padaku, sekilas saja. Aku baru menyadari hal ini darinya; dia akan selalu menatap lawan bicara, menyisyaratkan ia serius mendengarkan. "Kamu duduknya jauhan, dan kamu nggak pegangan sama saya. Saya takut kamu jatuh."

Brengsek!

Apakah dia sedang mencoba merayu? Apa dia bersikap seperti seorang pangeran seperti ini untuk menggodaku? Meskipun menggodaku rasanya mustahil. Ada begitu banyak gadis cantik dan populer di sekolah yang siap melemparkan diri untuknya.

Apakah ini permainan lainnya yang sedang ia mainkan? Mungkin sebuah taruhan. Untuk melihat seberapa cepat dia bisa meluluhkan si anak baru miskin yang kurang ajar ini. lalu menginjak-injaknya.

Well, aku tidak akan membiarkannya.

Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh ... pada Aksal.

Motor berhenti tepat di depan pagar rumahku. Membuatku secara was-was dan dengan cepat turun, lalu nyaris terburu-buru menuju pagar. Seandainya, Aksal kemudian tidak mencengkeram pergelangan tanganku.

"Apa lagi?" tanyaku ketus.

Aku tidak suka situasi ini. Pertama, Mama bisa melihatku kapan saja. Kedua, aku ingin cepat-cepat melarikan diri dari laki-laki yang meminjam nama Pangeran ini.

Tetapi alih-alih merasa terintimidasi oleh tatapanku, dia justru tersenyum geli.

"Helm... nya," katanya, "... kamu mau simpan aja?"

Prince Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now