Chapter 25

4.8K 1K 93
                                    


"Saya suka sama kamu."

Aku termangu, menatapnya, berusaha mencari-cari tawa yang mengikuti ucapan konyolnya itu. Tetapi tidak ada. Tidak ada apapun selain keseriusan di sana sehingga dapat kurasakan, jantungku berdegup kencang dan wajahku memanas.

Tidak ingin terjebak dalam situasi aneh itu lama-lama, akupun berdiri, terbelah antara ingin lari namun berhenti sejenak karena aku harus mengucapkan sesuatu padanya. Ini membuatku terpaksa kelihatan aneh.

"S-saya mau ke kelas," ucapku dengan susah payah. Otakku benar-benar macet.

Lalu, aku pun pergi cepat-cepat. Ketika aku menoleh ke belakang, ia tidak mengikuti, syukurlah. Aku tidak ingin terlihat lebih kacau lagi dari sekarang.

Kutangkupkan kedua telapak tangan di pipi. Ah, sial. Ada apa dengan wajahku? Dengan jantungku? Denganku? Kenapa semuanya mendadak lupa cara berfungsi dengan normal?

Dan seperti hadir untuk merusak suasana hatiku, aku harus bertemu dengan seorang Veloxa. Rambutnya ikal sempurna hari ini, dengan pita merah muda yang mengikat sebagian rambutnya. Dia tersenyum pongah padaku.

"Oh, hai, anak baru!" katanya dengan cengiran lebar. "Gimana, suka nggak, kado dari gue?"

Dua orang temannya di belakang ikut menyengir, tahu dengan pasti kado seperti apa yang Veloxa maksud.

"Lo harusnya berterima kasih, sih, sama gue," katanya lagi. "Berkat gue, lo jadi viral deh!"

Aku mengepalkan tinju di sisi tubuh. Tahan, Isa. Tahan. Tidak ada gunanya berdebat dengan sampah sepertinya. Hal terbaik untuk dilakukan adalah berjalan pergi seolah-olah dia hanya angin

"Gimana tanggapan Pandawa? Udah sukses belum, jadi pelakornya?"

Pada pertanyaan yang semakin kurang ajar, langkah yang semula kumaksudnya untuk berjalan melewatinya dan pergi harus kuhentikan. Aku menatapnya tepat di manik mata.

Dia tidak gentar. Alih-alih, tersenyum dengan pongahnya.

"Apa? Mau marah?" tawanya.

Dan aku menghentikan tawa itu dengan sebuah tamparan di pipi Veloxa. Cukup keras hingga dia oleng ke belakang, menangkup pipinya dan menatapku dengan syok.

Aku membalas tatapannya datar.

"Ini peringatan terakhir. Lain kali, gue nggak akan segan melakukan lebih."

***

Usai surat yang tersebar itu, Bia menghindariku. Dan bukannya aku peduli. Malah, ini cukup melegakan, aku tidak harus menjawab ocehan-ocehannya yang terlalu banyak. Hanya sesekali, kami terpaksa harus bertemu muka demi agar Papa tidak curiga.

Seperti sekarang, contohnya. Seperti berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama, hal yang tidak akan pernah terjadi seandainya Papa tidak berada di rumah.

"Pa, tahu anak Desi nggak, temen Mama yang rumahnya di ujung komplek itu?" celetuk Mama tiba-tiba di sela kunyahan nasi yang ditemani ayam mentega dan sayur jagung wortel.

Papa tampak berpikir sebentar, kemudian menyerah dengan cepat. "Yang mana?"

"Ituuu yang rambutnya dicat merah. Dia punya anak seumur Bia, loh."

Aku melirik Bia sejenak. Firasatku mengatakan tidak akan ada hal baik yang keluar dari mulut wanita itu.

"Oh yang kemaren ke sini, ya? "Papa mengangguk-angguk.

Terdengar derit ketika Mama menggeser kursinya agar lebih dekat pada Papa, juga mencondongkan badannya ke depan.

"Papa tahu nggak, kalau anaknya hamil?"

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang