Chapter 26

4.9K 1K 96
                                    


[Kacang Polong] Saya di depan rumah kamu.

Mataku secara otomatis melebar membaca pesan tersebut. Dengan cepat aku berjalan ke jendela dan menyibak tirainya sedikit. Dari jendela kamarku di lantai dua, aku dapat melihat jalanan di depan rumah. Dan ya, aku melihat sebuah mobil putih di seberang jalan, dan seorang laki-laki berjalan yang keluar dari sana.

Itu Aksal. Meski aku tidak mengenali mobilnya, aku dapat mengenali perawakannya, cara dia berdiri, bahkan gaya rambutnya. Semua itu kuingat tanpa sengaja. Dia benar-benar sudah datang!

Kepanikan melandaku dengan cepat begitu menyadari keadaan. Pertama, aku masih dibalut kaus lusuh, tidak siap untuk pergi kemanapun. Kedua, Papa ada di rumah, dan mengingat pembicaraan tadi, rasanya sebuah belati akan ditodongkan ke leherku jika aku nekat berpamitan untuk pergi dengan seorang laki-laki.

Aku tidak punya pilihan. Aku harus membatalkan janji malam ini. Atau ....

Atau aku tidak perlu menjadi anak baik-baik seperti yang Papa harapkan. Karena memang sejak awal, aku bukan salah satunya.

Maka aku membuka lemari, memilih secara acak pakaian yang layak untuk dibawa ke luar rumah (hal yang tidak terlalu memusingkan karena jumlah pakaianku yang tidak banyak dengan jenis yang itu-itu saja, kaus hitam, putih dan abu-abu, kemeja hitam, sweter hitam, jaket hitam, jins). Usai mengenakan kaus lengan pendek warna putih dan jins berwarna gelap, aku membalutnya dengan jaket denim hitam. Tidak ada waktu untuk menyisir rambut sehingga aku menguncirnya dan meletakkan topi baseball di atas kepala. Uang dan ponsel kulesakkan ke dalam saku jins, dan aku pun siap pergi.

Aku tidak pergi keluar dari kamar lewat pintu. Alih-alih, aku membuka jendela. Kisi-kisi beton yang ditempatkan di bagian atas dan bawah jendela menjadi sangat berguna. Aku turun melalui bebatuan kolam air terjun buatan yang sudah dikeringkan sejak seminggu lalu, lalu mengendap-endap dalam kegelapan dan memanjat pagar.

"Maaf lama," kataku begitu tiba di belakang Aksal. Hal yang membuatnya kaget hingga nyaris melompat.

Ketika melihatku, ia melepaskan napas lega dan mengurut dadanya. "Kamu ngagetin."

Ekspresinya benar-benar lucu hingga membuatku nyaris tertawa. Nyaris. Aku berhasil menahannya hingga menjadi senyum kecut saja. Ia melihatku, lalu kepada pagar yang masih terkunci.

"Kamu datang dari mana?"

Aku mengendik sebagai jawaban. Tatapanku terarah pada SUV putih di sampingnya. "Kamu hari ini bawa mobil?"

Aksal mengangguk, lantas segera membukakan pintu penumpangnya. "Terakhir kamu kayaknya nggak nyaman naik motor."

Aku termangu. "Kamu nggak sampai beli mobil baru, kan?" Menilik betapa mulusnya mobil tersebut, aku sedikit ragu, meskipun tahu pertanyaanku konyol.

Ia terkekeh. "Enggak. Saya pinjam mobil Papa, kok. Yuk, masuk."

"Kamu nggak perlu bukain saya pintu," ujarku, namun tetap masuk ke kursi penumpang, takut dia merasa perlu memegangi pintu itu lebih lama lagi.

"That's bare mininum I can do," katanya, sebelum menghidupkan mesin. "Kamu ada rencana mau pergi ke mana?"

Aku menggeleng.

"Kalau begitu boleh saya mengajak kamu ke suatu tempat?" Ia menatapku. Intens. Cukup intens untuk membuatku membeku.

Jawabanku tidak muncul dengan segera. Kesadaran akhirnya muncul di otakku. Bahwa kami akan pergi. Ke suatu tempat. Hanya berdua. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa memercayainya. Atau memercayai diriku sendiri yang bisa-bisanya pergi dengan sukarela dengan seseorang yang cukup asing?

Prince Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now