Chapter 32

4.7K 1K 104
                                    

Aku lagi mengalami suatu musibah, sih. Jadi agak banyak pikiran. Chapter ini aku cicil sedikit-sedikit tiap hari selama seminggu lebih. Dan hasilnya sependek ini, haha.

Aku mau cepat menamatkan cerita ini. Gimana menurut kalian?

Happy reading!

***

[Kacang Polong]

Makasih buburnya.

Iya. Rasanya aneh?

Enggak, kok. Enak.

Selanjutnya, Aksal mengirimkan sebuah foto. Wadah yang kosong. Sebelum pesan berikutnya muncul.

Saya abisin malah.

Mau tidak mau, Isa tersenyum meski tipis. Dia selalu tahu bahwa dia tidak pandai memasak. Dia melakukan percobaan yang lama tentang rasa masakannya, dan berakhir nyaris melemparnya ke tempat sampah. Dan kenyataan bahwa bubur yang ia buat dihabiskan membuatnya ... tersentuh.

Sudah merasa baikan?

Iya. Makasih.

Sore ini. Pulang sekolah kamu sibuk?

Enggak. Kenapa?

Saya mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu bersedia?

Hmm. Oke.

Kamu enggak nanya kita mau ke mana?

Ke mana?

Rahasia.

Saya tunggu kamu di atap sore ini.

***

Orang terakhir, seorang cewek berjilbab dan seorang cewek berambut lurus panjang yang Isa tidak tahu namanya baru saja meninggalkan ruangan. Menyisakan Isa sendiri di kelas itu. Bel tanda kepulangan telah berdering lima belas menit yang lalu dan dia masih berkutat dengan ponselnya, mempertimbangkan.

Isa menggigit jarinya. Kenpa dia dengan mudahnya mengiyakan ajakan Aksal meski tidak tahu kemana? Bisa saja laki-laki itu berbuat jahat kepadanya. Meski Isa menyangsikan pemikirannya sendiri. Aksal ... bukan orang yang demikian.

Ia menarik tasnya lebih dekat, memasukkan buku dari mata pelajaran terakhir, lalu menyampirkan tas itu di bahu, beranjak pergi. Aksal ... mungkin tengah menunggu sekarang.

Tetapi langkah Isa tidak sampai jauh hingga tertahan. Napasnya ikut tertahan. Karena di depan pintu, dia melihat seseorang yang tidak terduga. Seseorang yang tidak pernah sekalipun dalam pikirannya terlintas bahwa sosok itu akan berdiri di depan kelasnya, menatapnya. Dia Pandawa.

Alih-alih menunggu Isa melanjutkan langsung, pria itu justru melakukannya. Pandawa mulai berjalan pelan, memperpendek jarak antara dia dan Isa.

"Boleh... saya bicara sama kamu?" tanya Pandawa tanpa basa-basi.

***

Seandainya bukan karena seisi sekolah yang telah nyaris kosong melompong, Isa tahu ini akan menjadi hal yang celaka baginya. Duduk di bangku payung di taman sekolah, dengan dua bungkus roti dan dua botol teh di antara mereka, bersama Pandawa akan membuatnya menjadi bulan-bulan seluruh penggemar laki-laki itu.

Meski begitu, meski hanya ada mereka di sana, tetap rasanya ... tidak tepat. Isa merasa gelisah di kursinya.

"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" tanyanya akhirnya, melompati proses basa-basi untuk segera sampai ke inti.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang