"I'm very sorry," kata Carlyle pelan sambil menatap Rion.

"I'm okay." Rion menatap awan jingga yang mulai melukis langit. "Gue paham maksud lo bukan gitu, Le. And, thank you, Mul."

"Apa kita bisa jenguk Hiranya, Yon?" tanya Loyd yang sedari diam dengan posisi bersila sambil menunduk dan siku tangan yang tertumpu di pahanya.

Rion menggeleng. "Gue rasa belum waktunya, Loyd. Dia bener-bener nolak interaksi selain dengan Mbak Shiara."

"Kalau diam-diam jenguk, pas dia tidur, gimana?" Carlyle ikut bertanya.

Rion berpikir sejenak. "Enggak bisa gue pastiin bisa atau enggak. Seperti yang gue ceritain tadi, malem-malem dia bisa relaps. Hal kaya gitu bisa terjadi lagi."

"Kalau lihat dari ruang tamu di ruangan Kak Hiranya, bisakan? Kak Hiranya selalu ada di kamar rawatnya, 'kan?" Niovi yang tadi sedang berbaring tahu-tahu ikut nimbrung dengan mata bengkak dan air mata yang menggenang nyaris tumpah. "Bisakan?" desaknya lagi.

"Abang enggak tahu, Nio. Abang hubungi Mbak Shiara dulu, ya, baiknya gimana." Rion meraih benda pipih yang ada di meja. Jari-jari pria itu berselancar di menu kontak lalu menekan tombol hijau untuk memulai panggilan. "Tapi kamu janji, ya, untuk turuti apa kata Mbak Shia."

"Loudspeaker, Yon," pinta Loyd. Rion pun menuruti.

"Halo, Mbak," sapa Rion begitu panggilannya diterima.

"Ya? Kenapa, Yon?" balas wanita di seberang sana.

"Mbak masih di rumah sakit?" tanya Rion memastikan.

"Iya, kayaknya bakal nginap di sini. Kenapa?"

"Enggak usah, gue aja, Mbak." 

"Hiranya memang butuh kamu, tapi dia juga butuh saya," kata wanita itu dengan lembut.

"Oke, deh." Jawaban Rion membuat geram teman-temannya. Sebab Rion tidak juga menanyakan apakah mereka bisa menjenguk Hiranya atau tidak. "Hm, mbak kondisi Hiranya bagaimana?"

Ada jeda yang cukup panjang. Sebelum akhirnya Shiara menjawab, "Kondisinya enggak bisa disebut semakin parah ataupun membaik. Sebab, saya belum meresepkan obat ataupun psikoterapi yang cocok. Saya belum bisa mendiagnosis secara akurat. Namun, tetap akan saya pantau perkembangan emosionalnya. Untuk jelasnya akan saya jelaskan ketika kamu ke sini, ya."

"Begini, Mbak. Kalau ada yang mau jenguk Hiranya, apa boleh?" tanya Rion hati-hati.

"Untuk saat ini belum bisa," jawab Shiara to the poin. "Kamukan tahu sendiri bagaimana respon dia terhadap orang-orang di sekitarnya sekarang ini."

Jawaban yang dituturkan Shiara membuat mereka bungkam. Tidak bisa memprotes.

Lain halnya Niovi, gadis itu segera merebut ponsel Rion. "Ka-kalau ... kalau lihat sebentar dari jauh, apa masih enggak boleh?"

"Iya, belum bisa untuk saat ini." 

Mendengar jawaban Shiara membuat Niovi menangis lagi. Gadis itu memberikan ponselnya pada Rion lalu berbalik meninggalkan kamar. 

Rion berdeham beberapa kali. "Yaudah, makasi, ya, Mbak."

"Oke, sama-sama."

Panggilan pun ditutup. 

"Lo enggak kejar Niovi? Dia nangis-nangis lagi, tuh." Semula bersuara. Pria itu tidak tahan dengan atmosfer yang terasa berat dan sedikit canggung.

Rion menggelengkan kepalanya. "Enggak. Dia nangis terus keluar kamar gue. Artinya, dia emang lagi pengin nangis sendiri. Enggak butuh penghibur ataupun dihibur."

Semper Paratus Where stories live. Discover now