Tiga Puluh Enam

1.3K 79 11
                                    

Wounds In Marriage

Bab Tiga Puluh Enam
***

Hai.
Sebelum membaca cerita ini, alangkah baiknya follow akun saya dulu, ya. Saya berharap sekali bisa mendapatkan 1K followers. Terima kasih^^

Selamat Membaca, ya. ❤

***

Anggya POV

Sesuai dengan janjinya, Devan menjemput diriku pukul 7 sore di butik. Saat itu Febby menyenggol bahuku berkali-kali, tersenyum. Aku pun sebenarnya sejak tadi berusaha keras untuk tidak tersenyum. Bukan apa-apa, aku hanya malu. Ketika akhirnya kami berdua saja di dalam mobil, aku merasakan canggung yang luar biasa. Aku sampai mengembuskan napas berkali-kali untuk menenangkan diri. Hingga, Devan membuka topik pembicaraan dengan suara yang begitu hangat dan sopan. "Anggya?" panggilnya. Entah mengapa, aku suka saat Devan memanggil namaku.

Aku menoleh pelan. "Hm?"

"Bagaimana dengan butik hari ini?" Lelaki itu tetap fokus menyetir mobil. "Jangan sungkan untuk berbicara kepada saya apabila ada masalah yang tidak bisa kamu dan Febby atasi," sambungnya. Dia tersenyum.

Sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak membuat diriku sendiri malu. Aku pun hanya mengangguk pelan. Sejauh ini, Devan  memang lelaki yang baik. Namun, aku tidak tahu bagaimana karakter lelaki itu yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, aku tidak ingin terlalu terburu-buru. Karena dalam hal perceraian, anak-anak yang akan selalu menjadi korban.

Kami sampai tidak lama kemudian di restoran. Devan segera memilih meja yang kosong, lalu mempersilakan diriku untuk duduk. Namun, tiba-tiba saja ponselku berdering. "Dev, silakan saja kami pesan makanan lebih dulu. Aku izin menjawab telepon."

Devan hanya mengangguk saja.  Aku pun segera pamit untuk mengangkat panggilan telepon.

Ternyata Ibu yang menelepon, beliau menanyakan keberadaan diriku sekarang. Aku memang lupa belum memberikan kabar kepada beliau bahwa aku akan pulang agak telat hari ini. Setelah menutup telepon dari Ibu, aku pun melangkah kembali ke meja yang sudah dipilih oleh Devan.

"Saya belum memesan apa pun." Devan mendorong daftar menu ke arahku. Dia tersenyum. "Silakan kamu dulu yang pesan, Anggy. Di sini makanannya enak-enak."

Aku mengangguk, lalu memilih beberapa menu untuk aku nikmati malam ini. "Apa kamu tidak alergi seafood, Dev?" Aku menatap lelaki itu dari balik daftar menu. Devan tersenyum. Lalu, dia menggeleng pelan. "Bagaimana kalau kita makan seafood malam ini?"

Devan pun mengangguk. Entah kenapa ia terlihat begitu ceria malam ini. Bahkan sejak tadi Devan tidak berhenti tersenyum. Lelaki itu berhasil membuatku gugup saja. Sebisa mungkin aku mengalihkan pandangan ke arah lain setelah selesai memesan menu makanan. Desain interior restoran ini memang bagus. Tempatnya nyaman. Namun, tiba-tiba saja bola mataku menangkap sebuah pemandangan yang tidak ingin aku lihat.

Ada Mas Naufal di sana  ... ia datang bersama dengan Tasya, tentu saja. Mereka terlihat begitu ceria, mungkin karena sebentar lagi akan menikah. Seharusnya aku sudah tidak peduli lagi dengan hal itu. Namun, entah mengapa rasanya masih tetap saja sakit. Dia ayah dari kedua anakku. Mengapa secepat itu dia melupakan kami? Ada rasa dendam di lubuk hati yang tidak bisa aku bohongi. Aku ingin sekali melihat mereka menderita. Namun, Ayah selalu berpesan bahwa kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan pula.

"Anggya?" Suara Devan membuatku terkejut. Lantas aku mengerjap pelan, lalu menoleh ke arahnya. "Ada apa, Anggya?" tanya Devan bingung. Devan bahkan terlihat khawatir.

Wounds in MarriageWhere stories live. Discover now