Tujuh

1K 51 10
                                    

Wounds In Marriage
Bab Tujuh

***
Anggya FOV

Mas Naufal pulang ke rumah pukul tiga pagi. Aku mengetahui hal tersebut dari Bibi. Dan pagi ini aku memulai hari seperti biasa. Sarapan dengan buah hatiku, Latya. Mas Naufal turun dari tangga, ia memang tertidur sendiri di kamar karena aku semalam ada di kamar Latya. Lelaki itu menatap ke arahku dengan senyum mengembang. Aku hanya balas tersenyum singkat, lalu fokus kepada Latya yang meminta diambilkan air.

"Sarapan apa kita pagi ini, Sayang?" Ia menyapaku. Dapat kulihat Mas Naufal yang tampak mengantuk, ia menguap beberapa kali. Lalu, telapak tangan lelaki itu bergerak mengusap kepalaku. "Maaf semalam, Mas, sibuk banget sama kerjaan. Tapi kamu langsung tidur, kan? Nggak nunggu, Mas?"

Lagi dan lagi aku tersenyum kecil ke arahnya, lalu mengangguk. "Kita sarapan nasi goreng, Mas. Oh iya, nanti tolong antar Latya ke sekolah, ya? Aku mau pergi ke rumah temen aku."

Mas Naufal mengerutkan kening. Ia menuang air dari teko ke gelas. "Ke rumah siapa?" tanyanya. "Nanti kamu pulang jam berapa? Atau mau Mas anterin? Kayaknya hari ini Mas mau izin nggak masuk kerja. Capek banget." Lelaki itu lalu duduk di kursi.

Aku melihatnya mulai mengambil sendok. Dan dengan sigap aku meraih piring, lalu menyendokkan nasi goreng untuknya. "Teman di komunitas ibu hamil, Mas. Biasa, kita cuma mau ngobrol-ngobrol gitu. Sharing banyak hal." Aku menjawab seenaknya. Tidak mungkin aku mengatakan akan pergi ke rumah istri temannya. Mas Naufal pasti akan curiga.

Lalu aku meraih ponsel, mengirimkan pesan kepada Feby bahwa aku akan datang ke rumahnya. Berkali-kali dia mengajakku untuk bertemu, tetapi aku belum ada waktu. Dan Feby terus memaksaku. Ia mengatakan hal ini sangat penting.

"Mas antar aja, ya?"

Aku menggeleng. Tetapi Mas Naufal menatap ke arahku. Ia bahkan berhenti menyendok nasi goreng di piringnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Lagipula ini cuma perkumpulan ibu-ibu. Kamu pasti tidak akan nyaman berada di sana."

Dia mengembuskan napas, lalu menyendok nasi goreng, menyuapnya ke mulut. Lelaki itu mengangguk pelan. Aku mengembuskan napas juga, merasa lega. Tetapi perkataan lelaki itu selanjutnya membuatku kesal.

"Jangan pulang terlalu sore, ya. Dan ingat kalau Mas nggak akan suka kamu diantar pulang oleh teman lelakimu. Pesan taksi online saja."

Apakah aku sudah benar-benar buruk di matanya? Padahal selama ini aku selalu nurut dengan Mas Naufal. Aku tidak pernah selingkuh, tidak pernah membuatnya kecewa. Dan yang paling penting aku selalu melayani dirinya dengan baik. Mungkin  ... aku hanya sedikit manja. Tetapi aku ingin ia bersikap perhatian kepadaku. Itu tidak salah, bukan? Aku juga bukan tipe wanita yang senang menghamburkan uang. Aku lebih suka menyimpannya sebagai dana darurat.

"Iya, Mas. Aku pasti bakal kabarin kamu kalau perlu dijemput, ko. Dan kalau kamu sibuk aku bisa naik taski," kataku. Lagipula kemarin bukan salahku! Aku bahkan sudah berkali-kali meneleponnya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Mau tidak mau aku pun menerima tawaran Keenan. "Dan aku juga tidak suka jika Mas terlalu dekat dengan wanita lain," ungkapku. Berusaha untuk memberontak. Memangnya hanya dia yang bisa melarangku untuk berbuat ini dan itu? Memangnya hanya dia yang merasa memiliki perasaan untuk dijaga?

Aku juga punya hati, Mas! Aku juga bisa sakit hati! Ingin sekali aku teriak di depannya sekarang. Tetapi tentu tidak aku lakukan.

Mas Naufal terbatuk pelan, lelaki itu segera meraih gelas berisi air. "Ya, tentu," katanya, terkesan sambil lalu. Membuatku semakin curiga terhadapnya.

"Aku harap Mas benar-benar mencintaiku dan menjaga pernikahan ini dengan baik." Setelah berkata begitu, aku meraih piring kotor dan membawanya ke belakang. Lalu melihat Latya yang sudah hampir selesai sarapan. Aku meraih tisu, mengusap pelan bibir anak itu.

Wounds in MarriageWhere stories live. Discover now