Tiga Puluh Empat

1.1K 75 15
                                    

Wounds In Marriage

Bab Tiga Puluh Empat
***

Halo, Kak. ❤
Omong-omong cerita ini cuma fiksi belaka, ya. Jadi nggak ada Anggya, Naufal atau pun Tasya asli. Ini real cuma rekayasa saya.
Kalian boleh menghujat si tokoh, silakan saja. Kalian boleh sayang dengan si tokoh, silakan saja.

Oh iya, saya memang sengaja membuat alur yang agak lambat. Tapi, yang pasti nanti akan ada karmanya buat tokoh antagonis di sini.

Untuk tokoh protagonis, di sini akan happy ending, ya. Tapi saya nggak bisa spill di sini. Intinya tungguin aja, ya. Nanti pasti yang jahat akan mendapatkan balasannya sendiri.

Selamat Membaca. ❤

***


Anggya POV

Persidangan terakhir antara aku dan Mas Naufal. Kami pun resmi bercerai hari ini. Aku lega sekali. Karena akhirnya bisa terbebas dari lelaki itu. Aku menarik napas dalam, lalu mengukir senyum dengan sempurna. Rasanya benar-benar seperti ... aku terlepas dari beban berat yang selama ini aku pikul. Aku menoleh ke arah Febby, yang sejak tadi setia menemani diriku. Sekarang bahkan ada Mama, Papa, Ibu, Ayah dan Kak Ajeng di sini. Aku tersenyum kepada orang-orang yang aku sayang. Semoga mereka semua selalu sehat dan bahagia. "Terima kasih, ya, Feb. Lo udah mau nemanin gue sampai sidang terakhir ini." Aku meremas telapak tangan Febby, dia hanya mengangguk dan membalas senyumku.

"Lo juga harus berterima kasih dengan Devan, Gy. Dia yang udah melakukan banyak hal hingga akhirnya lo resmi bercerai dengan Naufal dan hak asuh anak tetap ada di tangan lo," ucap Febby mengingatkan diriku. Aku menganggukkan kepala.

Tentu aku akan berterima kasih kepada Devan. Lelaki itu tidak datang ke persidangan hari ini. Mungkin, aku akan mengirimkan hadiah untuk putranya nanti. Setelah berada di luar gedung, aku memeluk Mama dengan erat. Meminta maaf kepada wanita itu jika selama menjadi menantunya, aku selalu melakukan banyak kesalahan dan kekhilafan. "Anggi akan selalu menganggap Mama sebagai mama Anggi. Sampai kapan pun," kataku seraya memeluk wanita itu.

Mama mengusap puncak kepalaku. "Maafkan Mama yang tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan pernikahan kamu dengan Naufal, Nak. Mama merasa gagal menjadi ibu mertua yang baik." Aku hanya menggelengkan kepala dengan pelan. Mama selalu baik kepada diriku. Mama bahkan selalu membelaku ketika ibuku sendiri sering kali memojokkan diriku.

Lalu, aku beralih menatap Papa. Beliau mengusap pipiku dengan lembut, lalu berkata, "Jangan sungkan untuk meminta bantuan Papa jika kamu perlu sesuatu. Papa akan sering mengirimkan hadiah untuk Latya."

Mereka semua baik sekali. Aku sungguh merasa sangat terharu. Lalu, Kak Ajeng pun memeluk diriku. Untuk pertama kalinya beliau melakukan hal itu. Aku tersenyum, sementara itu tetap membiarkan Kak Ajeng memelukku. "Gue sayang lo sebagai adik gue, Anggy. Maaf selama ini gue sering banget sinis sama lo. Waktu itu, gue cuma nggak suka Naufal menikah lebih dulu dari gue. Maafin gue ya, Anggy." Aku hanya menganggukkan kepala.

Hari ini, aku harus pergi dari rumah Papa dan Mama. Pulang kembali ke rumah orangtuaku hingga nanti aku bisa membeli rumah sendiri. Lagipula di sana masih ada kamar lamaku, sehingga aku bisa tidur di sana bersama dengan kedua anakku. Ketika sampai di rumah Mama, aku pun segera bersiap merapikan semua barang-barang yang aku miliki. Papa juga membantu diriku mengambilkan barang yang masih tertinggal di rumah lama. Mereka semua bahkan juga mengantarkan diriku pulang ke rumah orangtuaku. Meskipun Mama merasa tidak rela aku harus pergi. Bagi Mama, aku sudah seperti anaknya sendiri.

Wounds in MarriageWhere stories live. Discover now