Padahal sesungguhnya ia pula tak perlu repot-repot, tetapi baginya saat ini berdebat mengenai perihal sepele hanya membuang tenaganya. Maka Kirika tetap membawa utusan Silvis.

"Kalian bisa menunggu di sini."

Yah ... mau menurut soal apa pun titah pamannya, bukan Kirika namanya jika ia tak memberontak barang sedikit saja.

Ada keraguan yang menyelimuti benak tiga prajurit yang mengekorinya. Kalau saja pelindung kepala yang utuh menutup wajah mereka sungguhan tembus pandang, mereka pasti bisa melihat pasang-pasang mata mereka sendiri yang saling pandang satu sama lain.

Beberapa detik selanjutnya tiada seorang pun yang bergeming. Jelas melangkah maju akan terasa salah, pula membantah perintah sang Madam akan terasa sangat salah bagi ketiga bawahannya ini.

Namun, apa pedulinya sekarang? Toh, tanpa menunggu salah seorang di antara mereka pun, ia tetap melangkah masuk meninggalkan mereka.

Hendaknya mereka diam-diam mengekor, salah seorang lantas menerima sambungan dari Silvis.

"Mohon maaf, Tuan. Kami—"

"Dia menyuruhmu untuk menunggu di luar, benar begitu?" Demikian Silvis menukasi prajurit yang melapor. "Tak apa. Berjaga di situ saja sudah cukup."

Lantas bersama dicetuskannya patah kata Tuan Alford, akhirnya mereka bisa menjalankan tugas dengan lega.

Sebenarnya keputusan itu cukup mengundang banyak pertanyaan. Terutama Edward yang kebetulan tengah duduk di samping Silvis kala mereka mulai lenggang. Ya, apa lagi yang mesti mereka kerjakan selain menjaga orang-orang yang telah ditangani segala macam lukanya?

"Maaf, Tuan Silvis." Maka dalam kesempatan ini, segera Edward sambar Silvis meski masih hinggap rasa segan dalam dirinya. "Saya hanya penasaran ... apakah tak masalah membiarkan Madam berhadapan dengan Oohara sendirian?"

Sejenak manik biru langit itu melirik pemuda di sampingnya.

"Dia hanya menginginkan Kirika. Jadi kupikir ini satu-satunya keputusan yang tepat."

Keputusan yang tepat? Maksudmu dengan mengorbankan nyawanya? batin Edward menjerit-jerit protes.

Yah, mata yang spontan mendelik terang-terangan kala mendengar ucapan Silvis bahkan membuatnya merasa tak lagi perlu menyuarakan isi hatinya lagi. Konon pula Silvis seolah sudah paham untaian kata macam apa yang hampir ia muntahkan, lantas si pria paruh baya itu sekadar tersenyum kecil.

Mungkin Edward bisa menghitung senyuman itu tak lebih dari senyum pasrah sekarang.

"Dalam situasi seperti ini, tak ada yang bisa kita lakukan selain menuruti kemauan Oohara, Tuan Morgan," ujarnya kala kemudian. "Pihak kita, bagaimana pun juga harus tetap berhati-hati melangkah agar tak lagi menambah korban jiwa. Kecil kemungkinan bisa bernegosiasi dengannya, sebab menurutnya peperangan ini tak lebih dari panggung kematian."

"Ya. Pertunjukan ini pula memiliki dua jalan menuju akhir." Daniel akhirnya berceletuk bergabung dalam obrolan. Dia menghampiri keduanya, lantas menyodorkan air mineral kepada mereka. "Oohara mati di tangan Madam atau Oohara mati bersama kita semua yang berada di sini. Benar begitu, Tuan Silvis?"

Mendapati Edward yang terperangah dengan kernyitan di kening serta mata yang kian membola, justru Daniel meneruskan dengan tenang, "Benar-benar jelas bahwa peperangan ini tiada artinya, ya? Selamat. Sekarang kau tahu bahwa kau salah seorang yang mau repot-repot membuang banyak tenaga untuk terlibat di sini."

Silvis menanggapi kelakar sarkastis itu dengan dengkus alih-alih terkekeh. Namun, ia tak berkata apa-apa.

"Setidaknya kita bergerak cepat dalam penanganan. Masyarakat tidak terlibat sama sekali; tiada seorang pun dari mereka menjadi korban. Sementara sarana dan prasarana pemerintah tidak mengalami kerusakan lebih besar," lanjut Daniel, berusaha menambal suasana yang hampir ia rusak.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now