Prolog

29 3 0
                                    

Hari semakin larut, orang-orang mulai terlelap dalam hangatnya selimut. Surya telah lama bersembunyi dibalik bumi pertiwi, berganti dengan rembulan dan kartika yang menyinari. Meski malam telah menggantikan siang sebagai panggung kota, tak sedikitpun membuat sosok pria jangkung beranjak dari tempatnya. Berbaur dalam kerumuman masyarakat yang tengah menikmati pagelaran.

Dengan alunan musik gamelan yang mengiringi dinginnya malam. Netra hitamnya sama sekali tak berpindah menatap kelir dengan beberapa tokoh wayang yang dimainkan di tengahnya. Deretan wayang simpingan yang ditancapkan pada debog atau batang pisang dan dipasang berjajar di kanan kiri menghiasi kelir. Tak jarang keprak juga dibunyikan sang dalang dalam setiap adegan lakonnya. Tak peduli jika waktu telah dini hari, pria itu masih setia duduk diantara deretan penonton yang sedang menikmati sebuah karya seni.

Meski rasa kantuk mulai menghampiri. Namun gelak tawa para pamomong Pandawa membuatnya enggan meninggalkan tempat ini. Biarkan malam ini menjadi miliknya dan besok adalah hari santainya. Jadi, biarkan para Punakawan menghiburnya dan membuatnya tertawa untuk sekedar menyegarkan otaknya. Melupakan sejenak setumpuk pekerjaan yang siap menantinya ketika hari kerja kembali menyapa.

Malam ini, ia hanya ingin tertawa menampilkan sederet gigi putihnya yang rapi. Memperlihatkan lesung pipi yang membuat wanita jatuh hati. Bersamaan dengan senyum yang terbit, lelaki bersurai lembut ini menikmati setiap hisapan rokok yang menemani sepanjang malam ini. Mengeluarkan asap tembakau keluar dari sela-sela mulut dan lubang hidungnya. Benar-benar malam yang menyenangkan baginya.

bersambung...

Ratih Untuk KamajayaWhere stories live. Discover now