🌷26: Hadiah

13.6K 1.3K 41
                                    

“Cobalah mengikhlaskan dan maafkan mereka yang telah menyakitimu. Jangan menyimpan dendam ataupun membalas perbuatan mereka padamu, karena sama saja kamu seperti mereka nanti. Sebaik-baik manusia ialah mereka yang berani mengakui kesalahannya dan mampu memaafkan orang lain.”
—Safaraz Althair Biantara

🌷🌷🌷

Seminggu setelah kelahiran bayi kecil Afnan dan Raisa, hari ini di pesantren akan diadakan acara akikah. Semua persiapan telah selesai dan para tamu juga sudah berdatangan. Tahap demi tahap telah dilakukan dan sekarang waktunya mencukur rambut si bayi. Aluna menatap terharu, tanpa sadar tangannya mengelus perutnya dan matanya berkaca-kaca.

“Aluna.”

Aluna tersentak, dia menoleh pada Raisa yang tiba-tiba berdiri di sampingnya seraya menepuk bahunya. Dengan cepat, Aluna menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. “Kamu enggak apa-apa?” tanya Raisa, dia agak sedikit terkejut melihat Aluna yang mengeluarkan air mata.

Aluna menggeleng. “Enggak apa-apa kok, cuma terharu aja. Oh ya, ngomong-ngomong siapa namanya, Kak?”

Raisa tersenyum tipis di balik cadarnya, dia tahu Aluna pasti mengalihkan pembicaraan. “Namanya Muhammad Husain Ghazalan, artinya seorang anak laki-laki yang terpuji, saleh, taat agama, pintar dan bijaksana.”

“Maa Syaa Allah bagus banget namanya.”

Raisa terkekeh kecil, dia berpamitan pada Aluna sebab dipanggil oleh sang suami padahal dia masih ingin berbincang dengan Aluna. “Maaf, ya, Aluna, Kakak pergi dulu sebentar,” pamit Raisa tersenyum tidak enak pada Aluna.

Aluna menganggukkan kepala, setelah Raisa pergi datanglah ustadzah Windy bersama seorang perempuan yang tidak Aluna kenali. Mungkin juga salah satu ustadzah yang mengajar di pesantren.

Ustadzah Windy menyapa Aluna dengan wajah pura-pura ramah, Aluna menanggapinya dengan senyum kecil di bibirnya. Dalam hati dia terus berdoa dijauhkan dari hal-hal buruk, entah mengapa perasaannya tiba-tiba tidak enak.

“Ning Aluna gimana kabarnya? Saya dengar, Ning baru aja keguguran, ya? Aduh, kasihan Gus Faraz.”

Hati Aluna mencelos saat pertanyaan itu dilayangkan oleh ustadzah Windy. Memang orang-orang atau lebih tepatnya warga pesantren sudah mengetahui, sebab ada salah seorang santriwati yang tidak sengaja mendengar pembicaraan keluarga ndalem mengenai musibah yang menimpa Aluna juga Althair dan langsung menyebarkan berita bahwa istri Gus idaman mereka telah kehilangan calon anaknya. Tapi, Aluna tidak menyangka jika berita tersebut sampai terdengar di telinga ustadzah Windy.

Seorang perempuan yang bersama Ustadzah Windy meliriknya tajam lalau menatap tidak enak pada Aluna yang kini menunduk sedih. “Enggak seharusnya ustadzah mengatakan hal seperti itu, ayo minta maaf,” titah perempuan tersebut namun ustadzah Windy hany memutar bola matanya malas.

“Maaf, ya, Ning. Saya cuma bertanya saja. Saya juga bicara fakta kok, Ningnya enggak bisa jaga anak Gus Faraz, makanya sampai keguguran. Kasihan Gus Faraz, kalau aja dia menikah sama saya, pasti enggak bakal deh kejadian kayak gitu.”

Aluna mengepalkan kedua tangannya erat, dia tidak ingin menanggapi ucapan ustadzah Windy, tapi kenapa perempuan itu malah semakin menjadi-jadi? Lagipula, memangnya pantas seorang ustadzah mengatakan hal demikian dengan begitu lancangnya? Seharusnya seorang ustadzah bisa mencerminkan bagaimana sikap yang baik berbincang kepada lawan bicara tanpa menyakitinya bukan?

“Maaf, saya harus pergi, kepala saya sedikit pusing. Permisi,” pamit Aluna. Jujur saja, dia sudah tidak tahan dalam posisi ini. Dia berusaha mati-matian menahan emosi dalam dirinya, karena tidak ingin mempermalukan Althair di depan keluarga ndalem ataupun orang lain yang hadir dalam acara ini.

ALTHALUNADove le storie prendono vita. Scoprilo ora