(1) Prolog

643 58 20
                                    

Goryeo, Songak, 974 M.

"Wangseja*, apa kau ragu? Segera eksekusi perempuan itu sekarang"

*Wangseja = Putra Mahkota.

Titah yang dilontarkan seorang penasehat kerajaan tadi membuat tubuh sang Putra Mahkota, Jeong Se Hun, yang terbalut jubah hitam kelam itu jadi terhenyak— karena sebelumnya dia hanya berdiri tegap dengan tatapan tak berarti.

"Aku akan melakukannya dengan tanganku sendiri." Diantara batinnya yang berkecamuk, Se Hun membulatkan tekad. Jemarinya yang menggenggam tali pada sebuah alat pancung dia perkuat seolah sudah siap akan tugasnya.

"Apa kalimat terakhir mu?" tanyanya pada seorang wanita yang hidupnya tengah berada di ujung kematian.

Si perempuan gisaeng tersenyum samar, begitu sangat tipis. Gaun putih lusuhnya akan menjadi saksi bisu atas kematian dirinya yang mengenaskan.

Tubuhnya tengkurap di atas altar eksekusi dengan kaki dan tangan yang terpasung. Lehernya berada tepat di bawah sebuah pisau pancung besar mematikan setajam pedang yang akan langsung mengakhiri hidupnya dengan sekali penggalan.

"Seon Se Jeong, aku bertanya sekali lagi sebagai seorang Raja berikutnya. Adakah kalimat terakhir yang ingin kau katakan sebelum pergi ke neraka?"

Yang ditanya hanya kembali menampakan senyum simpulnya. Oh, mengenaskan sekali hidupnya. Kedudukannya sebagai gisaeng dengan posisi terendah— karena hanya seorang anak pungut, rupanya bukan satu-satunya hal menyedihkan dalam hidupnya.

Seon Se Jeong mendapati hukuman mati karena telah membunuh Raja Jeong So yang merupakan ayah dari Jeong Se Hun. Tentu saja itu hanya sebuah tuduhan. Ya, tuduhan yang tidak ada seorangpun mau membela dirinya, mau menyelamatkan hidupnya, mau menolong dirinya. Semua orang tak ada yang percaya. Lagi pula, siapa manusia bodoh yang akan membela seorang gisaeng?

Itu sama saja seperti terjun bunuh diri.

Raja Jeong So ditemukan tewas di tengah hutan setelah menghilang dari kerajaan selama satu pekan. Se Jeong yang saat itu biasa pergi ke sungai untuk mencuci baju tak sengaja menemukan jasad Sang Raja di sebuah gubuk di tengah hutan dekat sungai.

Namun naas, itikad baiknya malah berujung petaka karena dia dituduh sebagai pembunuh sang Raja oleh para warga.

"Kalimat terakhir katamu?" bahkan Se Jeong tak peduli lagi dengan tata krama berbicara dengan Putra Mahkota.

Se Hun menyeringai seolah begitu jijik dengan kalimat yang keluar dari wanita pembunuh sang ayah. "Ini karena aku masih berbaik hati."

"Jika kau bertanya apa kalimat terakhir ku, maka aku akan mengatakan bahwa aku, Seon Se Jeong, tidak akan pernah memaafkan dirimu bahkan jika aku memiliki kesempatan hidup di masa selanjutnya. Dan Jika pada masa itu aku bertemu lagi denganmu, aku berjanji akan membalaskan dendam ini."

"Kalimat yang indah sebagai akhir penutup hidup. Baiklah, mari bertemu lagi di kehidupan selanjutnya agar dendam mu terbalaskan, Se Jeong."



SRASHHHHH!!


KRAKKK



Itulah riwayat hidup terakhir dari Seon Se Jeong. Perempuan gisaeng yang mati di penggal oleh tangan Raja-nya sendiri, Jeong Se Hun.





===




Halo!

Prolog cerita ini aku terinspirasi dari cerita TRUTH : The Prolog punya Kak Lil. Salah satu penulis favorit aku di wattpad. Lewat cerita-cerita dia aku belajar banyak, banget.

Ini cuma latar di prolog doang kok, atau mungkin nanti ada dibeberapa part flashback. Karena latar cerita sebenernya ada di masa depannya atau jaman sekarang.

seneng akhirnya bisa nulis lagi T.T
jangan lupa vote + komen !♡

UNDER : REDΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα