Peternakan Ibu Kota

100 38 55
                                    

"Jakarta enggak seindah Banda Neira. Tapi hal-hal yang enggak indah di sini itu justru sering kali bikin mata kita pengen terus tatap," celetuk seorang barista seraya meletakkan kopi pesanan Jagat di meja. Jo atau yang lebih akrab Jagat panggil dengan embel-embel "Bang" di depannya itu mendudukan diri tepat di hadapannya. Dengan apron coklat yang masih melekat pada awaknya dan rambut gondrong yang diikatnya, Jo tampak berkarisma kendati hanya seorang barista.

Jagat menoleh begitu seruan yang menggema membawanya sadar dari lamunan. "Kemacetannya, kriminalitasnya, gelandangan yang nyaris kita temui di setiap persimpangan jalan .... Ja, baru lima tahun gue tinggal di sini, tapi pengalaman pahit yang gue rasa melebihi ketika gue tinggal di sana, di Banda Neira."

"Kalau memang pengen dapat banyak pengalaman pahit. Jakarta dan problematika di dalamnya sepertinya memang cocok dijadikan tempat kelana," balas Jagat, "Saya tumbuh dan lahir di sini, Bang, tapi saya enggak pernah barang sekali merasa kalau kota ini cocok untuk jadi tempat saya tinggal lama-lama."

"Jakarta emang terlalu gaduh untuk orang yang mencari ketenangan. Jakarta terlalu sibuk untuk orang yang mencari tempat untuk istirahat."

"Jakarta ...," ucap Jagat lirih seraya menghela napas pelan, "Sebenarnya kota ini terlalu besar untuk saya yang kerdil. Jakarta dan ceritanya enggak pernah bisa saya tangani. Bahkan rasanya terlalu berat untuk saya hadapi."

"Bukan Jakarta yang enggak bisa lo tangani dan hadapi, Ja. Tapi hati. Dalam hati lo itu ada kekecewaan yang terus menumpuk dan bertambah."

Jagat bergeming, berusaha merenungi ucapan yang baru saja menjalar pada indera pendengaran. Benar. Apa yang dikatakan lelaki di hadapannya itu benar. Namun, kenyataan bahwa Jakarta terlalu pahit baginya tak sepenuhnya pula salah.

Jakarta, kota yang selalu menjadi sorotan banyak netra. Begitu banyak hal yang terjadi di sana. Biru langit yang selalu menaungi barangkali sekarang tengah bersorak-sorai atau justru bermurung durja menyaksikan pentas opera yang berpanggung kota Jakarta.

Burung-burung yang beterbangan, angin-angin yang tertiup kencang, pula awan-awan putih yang dengan pasti terus melaju perlahan-lahan. Ada banyak saksi untuk apa yang terjadi di Jakarta. Kota yang menurut Jo tak seindah Banda Neira, tetapi sama-sama menjadi kota yang kelak tak akan pernah dilupa oleh siapa saja yang pernah barang sebentar singgah untuk berkelana.

"Bang, kenapa banyak sekali perantau memilih kota ini?"

"Jakarta bukan pilihan, Ja. Gue curiga kota ini punya medan magnet yang menarik kami semua untuk jadi perantau di kota ini."

Bila hidup adalah sebuah koin, maka Jakarta adalah peruntungan yang tergambar pada salah satu sisi. Ada banyak sekali perantau merapah tanah Jakarta. Para mahasiswa yang mengenyam pendidikan, sampai orang-orang desa yang berburu pekerjaan. Sebenarnya, Jakarta bukanlah pilihan, tepat seperti apa yang dikatakan oleh Jo. Hanya saja koin yang telah dilempar membawanya terkapar pada kota yang sebenarnya tak melulu memberi nasib baik. Jakarta, sejatinya hanya menarik.

"Dari hal baik sampai banyaknya hal yang bikin pelik. Barangkali memang itu yang jadi magnet untuk menarik."

Tangannya terulur, mengambil secangkir kopi buatan pria di hadapannya. Rasa manis dengan aroma kuat yang menjalar ke hidungnya seakan menambah kenikmatan ketika kopi tersebut sampai pada indera pengecapnya.

"Ada niat untuk pergi lagi ke tahan yang lain, Bang?"

Jejaka yang ditanya itu tak langsung menjawab. Helaan napas yang terdengar begitu syandu menyeruak masuk ke dalam rungu. Disandarkannya punggung tegapnya pada bangku. Sedangkan netra kini justru menatap tiap-tiap penjuru jalan dari balik jendela.

Rumah CairWhere stories live. Discover now