Genangan Tenang

214 145 215
                                    

"Selalu kayak gitu sama orang baru, Zi?"

Derap kaki mereka karam oleh bisingnya teriakan para pedagang. Dari sisi kanan pun juga sisi kiri, nyaris penuh disesaki berbagai barang dagangan. Entah di mana letak ujung dari pasar tradisional itu, tampaknya mata Zinnia sejauh ini masih tak mampu menangkapnya.

Terik matahari seolah bukan masalah, asalkan yang dikehendaki dapat terbeli, tak ada yang perlu disesali. Sekurang-kurangnya begitulah pikir beberapa orang yang berlalu-lalang.

Sayup-sayup terdengar resonansi beberapa pembeli yang tengah bernegosiasi, dengan dalih langganan minta harga diberi keringanan. Tampak juga di sana anak yang merengek-rengek minta dibelikan es krim di seberangnya, sedang sang ibu fokus memilah sayur-mayur segar di hadapannya.

Bau tak sedap merangkak masuk ke dalam rongga penciuman. Tepat seperti pasar-pasar tradisional biasanya, bebauan sayuran busuk bercampur bau keringat orang-orang yang ada di sana. Terlebih lagi bila pasar becek akibat hujan, genangan airnya tampak seperti lumpur, alih-alih berwarna coklat, justru berwarna nyaris hitam pekat.

Zinnia yang berjalan tepat di samping lelaki bertubuh tegap itu begitu saja mengangkat sebelah tangan kanannya, melindungi matanya yang sensitif akan terik matahari. "Seperti itu kayak gimana maksudnya?"

Jagat yang mendapati Zinnia melindungi area mata dengan sigap berputar tempat dengan berjalan di sebelah kanan Zinnia supaya gadis itu tidak perlu kesusahan menutupi wajahnya seperti tadi.

"Akrab. Seolah kenal lama, enggak ada rasa takut dengan orang baru," ucap Jagat melajukan langkah sedikit lebih cepat berintensi memposisikan diri sedikit di depan Zinnia agar cahaya tidak menghujam matanya.

"Kamu sukses bikin saya terlampau percaya diri awalnya, Zi. Tapi, setelah lihat gimana kamu bicara dengan pelanggan lain di toko buku tadi, ternyata betul pribadimu emang kayak gitu," tambah Jagat.

Penyataan Jagat yang jujur itu sukses membikin bibir Zinnia terkekeh kecil. Tiba mereka tepat di depan kios ikan. Penjualnya yang bertubuh gendut itu tampak tengah mengusir lalat-lalat. Di sampingnya terdapat tukang kelapa giling dengan mesinnya yang tengah bekerja membikin bising kemana-mana. Belum lagi sisa-sisa kelapanya berceceran, membikin jalan kian tampak berantakan.

"Kalau kamu, gimana, Ja? Selalu begitu juga sama orang yang sebetulnya cuma kamu tahu namanya aja karena dengar sewaktu dia merapal?"

"Zi, saya duluan yang tanya, kok, malah balik tanya?"

"Kalau kamu tanya duluan, memangnya harus kamu duluan juga yang dapat jawabnya, Ja?"

"Jadi, harus saya yang kasih jawaban dulu, ya, Zi?"

"Enggak harus. Tapi, mauku, sih, gitu."

Jagat melirik ke kanan dan kiri jalan, tepat seperti orang yang memastikan apakah jalanan itu senggang atau tidak. Tapi tentu jalanan itu tidaklah senggang, sebab banyak kaki berlalu-lalang. Selalu seperti itu memang, dari pagi menjelang petang pasar ini seakan tak kenal lenggang.

Selalu ada saja yang berdatang dan bukan hanya satu ataupun dua orang. Walau bukan berduyun-duyun mereka datang dan pulang, tetap saja, rasanya kedatangan dan kepulangannya seakan sudah direncanakan untuk sampai sama-sama, dan betul pulang bila fajar sudah tenggelam---tepat di waktu nyaris seluruh kedai tutup.

"Nyebrang dulu, Zi, kedainya di sebelah kanan. Setelahnya nanti baru saya kasih jawab."

Zinnia mengangguk, membuntuti Jagat dari belakang untuk membelah jalan yang tak senggang oleh jamah kaki manusia.

"Impulsif, Zi. Enggak tahu atas dasar apa, begitu sadar bahwa saya tahu nama kamu, rasanya pengen hampiri dan panggil. Bahkan tanpa otak saya pinta," kata Jagat setelah menyebrangi jalanan tadi, sesuai seperti janjinya.

Rumah CairWhere stories live. Discover now