Rimbun Harsa

98 47 65
                                    

Senja-senja renta kehilangan pijaknya. Burung-burung berlenggang, mengepak sayap di ruang awang menuju jalan pulang. Tanpa siapa pun sadar, pendar jingga yang memancar sudah habis terkikis pekat kelam malam. Zinnia ingat bagaimana pijar matahari memudar begitu hari mulai petang. Zinnia juga ingat bagaimana padatnya lalu-lalang kendaraan yang barangkali mendamba kumpul di meja makan. Zinnia selalu suka ketika netranya menatap raga-raga yang berpeluh memburu tempat berteduh, menuju rumah untuk istirahatkan awak-awak lusuh.

Ingatan itu selalu terpatri dengan rapi dalam kepala kendati masa tak ayal hal yang fana—yang terus melaju, memburu jiwa-jiwa ranyah yang selalu merasa lelah.

Jarum jam tiada berhenti, detik demi detik dia nikmati. Embusan angin petang, sisa noktah jingga yang kian memudar di awang-awang, segelas kopi dingin dan berondong jagung yang dia nikmati kala menonton film bersama Kale, sampai sekarang kakinya berpijak di rumah makan cepat saji.

Zinnia memicingkan mata tepat ke balik jendala. Jejak jingga yang tadi mengiringi jalannya menuju bioskop tak lagi tertangkap mata. Benderang yang tercipta kini sebatas cahaya rembulan yang wujudnya tak terjamah mata pula lampu-lampu gedung di sekitaran dan jalanan.

"Makan dulu, Zi. Liatin apa sih di luar?" Celoteh Kale yang masuk pada rungu membuyarkan lamunannya. Zinnia sontak menoleh, melemparkan senyum seraya menggelengkan kepala tanpa membuka suara maupun lontarkan sepatah kata pada jejaka di hadapannya.

Tangannya kini mulai meraih sebuah burger yang dirinya pesan tadi. "Omong-omong, kamu tumben banget ajak nonton," kata Zinnia begitu sesuap burger mendarat di lambungnya.

"Ya ... pengen ... aja?" balasnya sedikit terbata, "Sekali-kali gue yang ajak, biasanya, kan, lo terus."

"Tapi, film tadi bukan kamu banget." Zinnia terkekeh kecil. Tangan kanannya kini meraih minuman yang dia pesan sebelum disesapnya. "Kamu tahu film itu dari mana juga lagian."

Kale mengangkat bahu dengan mulut yang nampak masih mengunyah makanan. "Gue beli tiket yang ada aja, sih," ucapnya seraya meletakan makanannya kembali ke atas meja. "I'd love to go out and spending time with you. Nonton, terus akan malam, walau cuma makan makanan cepat saji begini, sama lo."

"Kal, kayaknya kamu kurang cocok deh ngomong kata-kata yang agak romantis gini," ujar Zinnia sebelum dirinya tertawa yang disusul oleh tawa Kale.

"I think so," katanya, "Anyway, the movie is not that bad, tho. Gue cukup enjoy walau agak ngantuk juga sebenernya."

Zinnia menganggukan kepala. "Toxic relationship. Isu yang diangkatnya cukup menarik."

"And the fact that I have the same name as the main lead male is the funniest one."

"Untung bukan nasib yang sama, ya," ucap Zinnia yang diiringi dengan kekehan kecil, "Tapi film tadi tuh bener-bener apa ya ... aku ngerasa kayak nyata banget? Orang-orang yang terjebak dalam toxic relationship sering kali susah keluarnya, kan?"

Kale mengangguk seraya berkata, "Kayak tokoh ceweknya itu ya, Zi, mereka namai rasa takut mereka itu sebagai cinta. But love doesn't hurt. Love will make you live a happy life. Jadi, emang baiknya udahan daripada memperpanjang penderitaan."

"Aku paling gak suka kalau udah sampai abusive, main tangan dengan mengatas namakan rasa sayang," tutur Zinnia diiringi helaan nafas yang memberat, "Yang rusak bukan cuma fisik, tapi juga psikis. Tapi gimana ya, Kal, sikap kayak gitu kayaknya susah untuk diubah."

"You can't change the people around you, but you can change the people around you. Pernah denger kalimat itu gak, Zi?"

Zinnia menganggukan kepala. "Yeah, I do and I understand it completely." Dengan senyum yang terpatri pada durja, Zinnia tak langsung selesaikan kalimatnya. Jeda sementara ia selipkan sebelum kembali berkata, "Choose, is the keyword."

Rumah CairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang