Resonansi Kontemplasi

141 72 125
                                    

"Kali ini, gue yakin massa yang turun bakalan bener-bener banyak banget. Sampe rasanya gue skeptis kalau nantinya demo gak akan berujung anarkis."

Suara Radit menggema di tengah bising jalanan malam kota. Lalu lalang kendaraan dengan nyaring mesin dan klakson kala ditekan saling sahut-menyahut seakan hanyut dalam bincang tanpa bahasa. Entah sudah berapa lama mereka terduduk dengan cakap-cakap ringan di kedai sate Mas Yunus, akan tetapi salah seorang yang mereka tunggu tak kunjung tandang, sampai larut mereka dalam bincang-bincang. "Memangnya kapan demo di sini gak berujung anarkis?"

Jagat membuang napas panjang. "Sebetulnya, kita gak butuh massa banyak, melainkan vokal yang bergejolak," tuturnya, "Rusak, Dit. Sudah koyak. Saya enggak mau kalau sampai demonstrasi nanti ramai sebab massa jadikan itu sebagai ajang eksistensi, alih-alih suarakan aspirasi."

Sekonyong-konyong Mas Yunus duduk di sampingnya. Dengan kaus oblong hijau dan celana hitam yang membaluti tubuh cungkringnya, ia menggerakan kepala ke kanan dan ke kiri, merenggangkan otot-otot yang sedari tadi bekerja tanpa henti. "Demo lagi ... demo lagi .... Ada-ada aja kelakuan mereka yang menjabat itu."

Jagat terkekeh kecil, "Ya mau bagaimana lagi, Mas Yunus? Orang-orang yang katanya terdidik itu kalau enggak bikin menggelitik ya bikin kita merasa tercekik."

"Pendidikan, ya ...." Mas Yunus mengangguk-anggukan kepala seraya mengeluarkan sebungkus rokok dan korek dari sakunya. Disundutnya rokok tersebut pada api yang keluar dari korek merahnya sebelum ia cumbu rokok tersebut. Dengan mata yang memberikan isyarat tawaran, diberikannya bungkus rokok itu silih berganti pada Jagat dan Radit sebelum akhirnya mereka ikut merokok bersama. "Apa pentingnya pendidikan kalau moral enggak tertanam? Gelar-gelar yang mereka punya itu enggak ada artinya kalau tindak-tanduk masih kayak maling begitu. Enggak lebih dari pencopet, pencuri."

"Mending jadi tukang sate aja kayak saya," sambung Mas Yunus. Sebuah kurva lengkung terbentuk di bibir Jagat. Kepulan asap yang keluar dari mulut jejaka itu merambat seolah tak kenal sendat. Netranya tiada henti menatap sepatu lusuh yang entah sudah berapa minggu tak terbasuh itu lekat-lekat.

"Iya, Mas Yunus kalau ditawarin kuasa jangan mau. Mending jadi tukang sate aja ya, Mas," ucap Radit seraya terkekeh kecil.

"Siap, Mas Radit. Kalau punya juga saya bakal berprinsip lah, amanah. Enggak kayak mereka yang enggak punya prinsip."

Jagat menegadah begitu kalimat terucap dari lisan Mas Yunus. "Mereka itu sebetulnya bukan enggak punya prinsip, Mas, hanya saja takut enggak berkecukupan, takut kalau harus kekurangan," ucapnya, "gaya hidup hedonis itu mengikuti kuasa yang dipunya. Selain dari nafsu dan egoisme, menurut saya orang-orang rakus itu juga masih terhegemoni budaya feodal dan berpikir bahwa dengan memiliki kekuasaan, mereka bisa melakukan apa saja."

"Udah gitu hukum di negara kita juga kurang adil. Lamanya penjara enggak sebanding sama apa yang mereka ambil," kata Radit sebelum kembali menghisap rokoknya.

"Itu kenapa hukum harus disupremasi, bukan malah runcing ke bawah tapi tumpul ke atas," timpal Jagat dengan senyum tipis yang tergurat.

Tiada cakap beberapa saat. Ketiga pria itu seperti sedang tersedot kontemplasi dalam ruang tanpa batas dengan keterbatasan yang dipunya. Dengan batang rokok yang kian memendek di antara bibir-bibirnya, Jagat menatap awang-awang tak berbintang. Pekat obsidian itu menatap lekat kelam tawang. Terindra pendar bulan tertutup awan-awan.

Detak tiap detik dientak gaduh kendaraan penaka cipta tempik. Suara mesin-mesin yang terus melaju terdengar kian memekik. Malam ini tiada hujan rintik, kesejukan dirasa dari angin yang kerap kali tandang menyapa. Pepohonan berlambaian, menggoyangkan ranting pun juga daunnya yang tampak lebat melekat.

Rumah CairWhere stories live. Discover now