Muara Nostalgia

212 147 239
                                    

Sudah nyaris dua jam mereka berada di dalam ruangan yang biasa mereka pakai latihan. Ruang studio yang mulanya tampak bersih dan rapi kini terlihat berantakan. Beberapa kantung bekas makanan berserakan menumpuk tepat di atas lantai.

Ruangan kedap suara yang didominasi oleh warna coklat itu cukup besar, segala keperluan band terdapat di dalam sana. Sudah bertahun-tahun ruangan beserta isi-isinya itu ada. Sudah bertahun-tahun pula Kale, Dimas, Joshua, dan Reyhan berkawan baik meski sudah terbilang jarang untuk bertatap muka.

Dunia perkuliahan memisahkan mereka. Cukup berbeda seperti masa putih abunya yang banyak waktu senggang untuk bermain-main, masing-masing dari mereka kini mulai lebih serius melanjutkan pendidikannya. Tak terkecuali dengan Kale meski dirinya selalu terlihat lebih santai daripada yang lain.

Tempat yang sering kali mereka pakai untuk latihan sedari jaman SMA itu bukan sekedar studio, bukan pula sekedar tempat pulang bagi jejaka berkulit putih berbalut kaos hitam yang sedari tadi entah kemana langkah kakinya membawa. Sebab tempat tinggal Joshua lebih mirip dengan museum yang di dalamnya terdapat banyak hal-hal berbau seni dan musik.

Bila langkah kaki membawa diri ke ambang pintu utama, nuansa musik yang dirasa seketika tercipta. Lukisan gitar tua langsung menyapa netra. Ada pula beberapa miniatur alat-alat musik yang terletak di atas meja bersandingan dengan potret-potret Joshua dan keluarganya. Dan bila langkah membawa ke ruang tengah, dapat pula dijumpa satu piringan hitam dengan potret salah satu musisi legendaris di atasnya, potret Elvis Presley. Tidak hanya itu, terdapat pula dua lukisan pohon dan suasana malam yang terpampang di sana. Lukisan itu adalah lukisan yang dibuat oleh Mamanya. Cukup berbeda memang dengan penghuni lainnya, wanita yang melahirkan Joshua itu lebih tertarik bermain dengan warna kendati hanya dilakukannya secara suka-suka.

Begitu cinta keluarga mereka dengan musik. Sampai mengundi nasib pula mereka dengan musik. Mencari-cari peruntungan dengan menjual suara pula memainkan beberapa alat yang mereka bisa.

"Gue kira cuma ngundang kita, taunya tiga angkatan diundang, Bro. Ngapain dah, aneh amat acara ultah sekolah aja pake ngundang alumninya, mending kalau pada dateng," ucap lelaki berjaket lepis yang menggema dalam ruangan itu.

"Lah, seriusan? Angkatan mana aja, Rey?"

"Tiga angkatan setelah kita, Dim."

"Tiga angkatan, berarti ...." Dimas melirik Kale yang masih terduduk di belakang drum. Lelaki itu menghela napas begitu tahu maksud Dimas yang tiba-tiba melirik ke arahnya. "Kal, mantan tergemas lo dateng, Kal."

"Lah iya, anjir. Gue baru inget si Kale pas SMA pernah pacaran sama dekel, siapa tuh namanya, Dim? Gue lupa."

"Shopia, Rey," balas Dimas menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Reyhan. "Gila emang, nih, bocah. SMA demen yang gemas, kuliah demennya yang ganas."

Mereka berdua tampak tertawa geli. Sedangkan oknum yang tengah dijadikan bahan obrolan itu masih setia pada bungkamnya. Shopia. Kini nama itu terdengar begitu asing di telinganya. Perkara rupa atau sekedar kabar burung yang dibawa sambil lalu saja bahkan jarang sekali tertangkap oleh rungunya.

Apakah masih sama manisnya seperti dahulu, atau justru menjadi terlihat lebih cantik seiring bertumbuh dan dewasanya dia? Pertanyaan tersebut begitu saja mengetuk paksa kepalanya. Helaan napas gusar kini terdengar. Mengenang sesuatu yang seharusnya tak lagi dirinya kenang itu hanya menyisakan rasa tak senang.

Decitan pintu yang dibuka tiba-tiba terdengar. Tampak Joshua dengan kaos hitamnya mulai melangkah maju ke arah salah satu sofa yang tersedia di dalam sana. Tubuh jenjang dan kurus itu lantas mendudukan diri. "Kenapa mantan si Kale?" tanya Joshua mulai masuk dalam perbincangan kawan-kawannya.

Rumah CairWhere stories live. Discover now