Luka, Duka, dan Pusara

160 81 118
                                    

"Is everything okay ... at home?"

Pelan kepala mendongak, menggulir pandang pada awak muda di sampingnya yang masih setia mengatup bibir rapat sejak pergi beranjak. Resonansi tutur Zinnia yang lama bungkam tanpa suara mulai memecah sepi, menjadi aba untuk mula konversasi.

"Tahu dari mana gue pulang?" tanya Kale di balik kemudi dengan netra yang terpaku pada jalan.

"Mobil ini. Kalau pulang ke kos, pasti motor yang kamu bawa sekarang."

"Sedetail itu tahu tentang gue, Zi?"

"Aku kenal kamu bukan baru seminggu atau dua minggu, Kal."

"Tapi bisa aja lo tahu semua tentang gue walau baru kenal seminggu, sih, Zi."

"Kamu mau ngatain aku cenayang lagi, ya?"

Seketika ingat dia akan Kale yang penah menuduhkan cenayang. Kala itu memang belum cukup lama mereka saling mengenal, tetapi sebab Zinnia gadis yang cukup peka terhadap sekitarnya, mudah sekali untuk dirinya tahu perkara apa yang agaknya tengah mengganggu pikir lawan bicaranya.

"Enggak," balas Kale dengan netra yang melirik ke arah Zinnia, "You're such a good listener, Zi, and I believe in you. I believe that you are a good person. Jadi enggak ada yang harus diragukan buat cerita semua tentang gue walau kita baru kenal seminggu. Dan untuk itu gue nyesel karena punya gengsi yang terlalu tinggi waktu baru-baru kenal dulu."

"Tapi orang asing bakal tetap jadi orang asing. Kamu bakal merasa aneh kalau ngelakuin itu dulu ke aku walau aku baik-baik aja sama itu."

"Kok masih tetap dipanggil orang asing, sih, Zi? Terus apa gunanya kita berjabat tangan satu minggu sebelumnya kalau satu minggu setelahnya itu masih disebut stranger?"

"Ih, enggak gitu konsepnya!"

"Terus?"

"Ya ... pokoknya gitu, deh!" ucap Zinnia seraya mengambil benda pipih yang terletak dalam tasnya, "kalau urusan debat gak jelas kayak gini kamu emang bakal selalu menang, Kal. Soalnya kamu rese banget! Pinter ngelesnya."

"Hahaha. Bukan pinter ngeles, tapi emang gitu, kan? Ini buktinya lo kebingungan harus jawab apa." Gelak tawa Kale menggema dalam mobil seketika. Dirinya yang sedari tadi tampak muram di tengah Jakarta yang runyam kini justru mandam dalam bincang suka-suka. Namun itu bukan berarti begitu saja hirap segala beban yang mengganjal dalam pikiran. Zinnia tahu bahwa Kale tak akan pernah bisa lepas begitu saja dari apa yang membelenggu. Zinnia hafal bahwa Kale tak pernah mau terlihat memiliki beban apapun oleh siapa pun. Bahkan pada Zinnia saja acap kali dia berpura-pura walau pada akhirnya telak akan bercerita.

"Kalau udah bisa ketawa gini, artinya udah lebih baik, kan?"

Begitu saja Kale membeku dalam bisu. Dibuangnya napas pelan, disajikannya seutas singkat senyuman. Netranya kembali lagi pada jalan yang padat akan kendaraan. Perlahan, dia hentikan laju mobil begitu lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. "Emang sebelumnya gue gak baik-baik aja? I didn't even say anything, though."

"Diem nya kamu gak bisa nyembunyiin itu. Kamu kalau ada yang ganggu pikiran, kan, sebelum cerita suka diem dulu lama."

Kale terkekeh kecil. "How could you know me in detail, Zi? I don't even know much about you. No, I mean, kadang gue salah untuk tahu tentang lo, tapi lo justru selalu tahu dengan benar." Zinnia sontak tertawa mendengar pertanyaan repetitif Kale yang lagi-lagi mempertanyakan kemampuan dirinya yang satu ini. "Dan tentang yang tadi ... Everything will never be okay when I'm home, Zi. But it's not that bad, though. I'm just in a bad mood because of ... yeah ... you know ...."

Rumah CairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang