Semangkuk Sedu

739 232 763
                                    

Pendar cahaya terpancar bisai dari lampu-lampu yang berjajar dengan sekat beberapa meter satu sama lain di tiap sisi-sisi jalan. Rampai taburan bintang berdampingan dengan semarak elok rembulan tampak begitu meriah mengisi kosongnya awang-awang.

Sayup-sayup masih terdengar raung kendaraan yang jauh dari bulevar sana. Mungkin bila ini pedesaan, suara jangkrik kini sedang bersahutan. Dan mungkin bila tengah menikmati malam tenang bernaung sudung nenek, lantunan tembang mulai terdengar beriringan dengan rembuk yang tertutur dengan tampilan raut kulit kendur.

Cukup indah memang bila dibayangkan. Akan tetapi, sudah jauh lebih indah bila malam ini Ibu memasakan tengkleng yang menjadi makanan kesukaannya. Begitu pikir Jagat di tengah jalan pulang yang dipandu oleh bulan bintang.

Selain dari gemar pada hal yang sukar, tengkleng memanglah makanan yang amat Jagat suka, terlebih lagi bila itu hasil racik tangan Ibu, biasanya tengkleng itu dibumbui juga dengan percik-percik afeksi.

Memang begitu yang namanya masakan Ibu, selalu ada sensasi berbeda bila olahannya bersua pada indera pengecap kita. Konon katanya, resep rahasia itu bernama cinta.

Motor yang cukup lama ditumpaki mulai melambankan lajunya---sebagai bentuk gelagat bahwasanya dia harus berhenti sebab sudah sampai pada tuju dengan selamat. Orang kebanyakan akan bilang bangunan yang berdiri kukuh di hadapannya ini adalah sebuah rumah.

Namun, bagi Jagat, bagunan ini tak ayalnya sebuah tumpukan batu berpintu yang dihiasi oleh beberapa lampu dengan kuncup-mekar bebungaan pada halaman silih berganti mengikuti irama ketukan musim. Yang mana biasanya bila musim panas tiba, dedaunannya bisa sampai mengering lalu berguguran. Mati satu per satu, kemudian tumbuh baru ditanam Ibu.

Ibu Jagat memang suka sekali bercocok tanam, tapi perkara merawatnya, dia serahkan kepada alam. Itu yang acap kali Jagat bingungkan perihal Ibu tersayangnya.

Suasana lasat sunyi ketika masuk ke dalam pelataran tempat singgahnya sendiri. Pintunya tertutup rapat, tirai-tirai tak memberi barang sedikit celah.

Kalau siang, biasanya terdengar jelas suara anak-anak yang sedang bincang dengan kawan-kawannya. Sesekali terdengar tawa, sesekali juga rengekan, sesekali tangisan bocah yang dimarahi emaknya sebab main tak kenal waktu.

Akan tetapi, ketika langit berganti warna, kebisingan beranjak sirna. Sumbang suara massa seolah binasa, habis tak tersisa. Tidak, bukan lenyap, mereka hanya sibuk bersiap lelap.

Lelaki jangkung itu mulai mengetuk pintu untuk masuk ke dalam tumpukan batu---atau orang biasa sebut rumah---itu. Awak cegak berbalut kemeja corak kotak, tangannya digulung sampai ke siku. Rambutnya acak tak tertata.

"Kamu itu, belakangan ini sering sekali pulang malam."

Tertubruk pandangan Jagat dengan ibu berpiyama coklat susu. Ada corak-corak batik di kain itu. Netranya tampak sayu, kantung mata itu lasat kendur saban harinya. Putih-putih surainya tersemir alami. Sudah tua memang, parak masuki usia senja.

"Biar malam, yang penting pulang."

Terkikik mereka sebelum akhirnya benar-benar memasuki rumah tersebut. Di sana Jagat lahir, di sana Jagat tumbuh. Sal utama rumah itu cukup besar, ada kursi-kursi empuk yang tertata rapi, ada juga beberapa gambar dan lukisan yang menempel pada dinding-dinding putih. Beberapa kali rumah dengan usia lama ini dicat ulang, tapi tak pernah rumah ini berubah warna, putih selalu menghiasi.

Derap kakinya begitu syahdu menyentuh lantai, Jagat kini menuju ke ruang lainnya, berjalan tepat di belakang Ibu. Tas yang sedari tadi hinggap pada punggungnya kini menyisakan tersampir pada bahu kiri.

"Mandi dulu sana. Nanti makan, baru pergi istirahat," kata ibunya tanpa mengalihkan fokusnya pada jalan, "Kamu ini kalau udah pergi ke kamar, suka lupa mandi. Heran, gimana bisa kamu itu tidur nyenyak dengan tubuh kotor begitu."

Rumah CairWhere stories live. Discover now