"Mami! Mami! Tolong! Tolong bawa Kleiv juga!" Gadis itu berteriak meski punggung Gaia hampir lenyap dilahap kegelapan. Ia masih berusaha menyeret tubuhnya, mengikuti jejak Gaia. Tangannya masih mengacung di udara, berusaha menangkap sosok wanita paruh baya itu.

Tiba-tiba sesuatu tertangkap oleh tangan kurusnya. Ia menyentuh Wholecut Oxford Shoes yang tampak familier. Hiranya lantas mendongakkan kembali kepalanya. Matanya membola, tubuhnya bergetar.

"Pa-papi," panggil gadis itu terbata. Ia tidak menyangka Gaver— sang papi, akan menghampirinya juga.

Dengan ragu-ragu, tangan Hiranya mencoba meraih kaki Gaver. Ia masih mengamati wajah pria paruh baya itu yang memiliki ekspresi hampir sama seperti maminya tadi.

"Pa-pi, tolong Kleiv. Tolong ba-bawa Kleiv," pintanya dengan seluruh tubuh yang gemetar. Tangannya masih mencengkeram kuat kaki Gaver.

Suara langkah kaki asing kembali terdengar di telinganya. Hiranya mencoba menoleh pada sumber suara. Di belakang papinya berdiri seorang pria jangkung yang memiliki paras seperti papinya saat muda.

"A-abang," panggilnya pada pria itu.

Namun, bukannya menoleh pria itu malah membalikkan badan, mengamati sesuatu. Hiranya penasaran, lantas mencoba mengikuti arah pandang Rion.

Di sana, seorang perempuan yang lebih muda beberapa tahun darinya tengah bermanja-manja dengan wanita berparas cantik yang hampir mirip dengan perempuan muda itu. Mereka terlihat seperti pinang dibelah dua. Serasi. Damai. Terlihat bahagia.

Tidak lama dari itu seolah tidak peduli dengan rasa sakitnya, Rion dan Gaver bergabung bersama mereka. Saling bergandengan tangan meninggalkan dirinya yang menyedihkan.

"To-tolong ... bawa Kle-kleiv juga. Papi! Mami! Bang Ion! Nio! Tolong, jangan pergi! Jangan tinggalin Kleiv," raungnya dengan air mata bercucuran. Sekuat tenaga, gadis itu mencoba bangkit. Namun, gagal. Seolah ruang kegelapan ini memenjarai tubuhnya. Memerangkap raganya.

"Tolong kembali! Tolong bawa Kleiv!" jeritnya dengan tangan mengacung, berharap salah satu dari mereka berbalik dan menariknya keluar dari perangkap neraka kegelapan ini.

Mereka tetap berjalan, tanpa memedulikan dirinya yang tertinggal di belakang. Mereka tertawa bahagia tanpa ingin mendengar jerit tangisnya.

Suara senda gurau mereka semakin jelas.

Berhenti!

Suara tawa mereka semakin mendominasi ruang hampa ini.

Pergi!

Langkah kaki riang mereka semakin membuat dirinya yang tidak mampu bangkit terlihat menyedihkan.

Menyakitkan. Tolong berhenti. Pergilah. Tolong menghilanglah, KALIAN!

Semuanya benar-benar lenyap. Tak tersisa tawa. Tak tersisa senda gurau. Tak tersisa langkah kaki riang. Hanya kegelapan hampa yang tersisa. Hanya suara tangis yang berasal dari bibirnya, menggema.

"Tolong, sakit! Sakit!" Gadis itu berguling dan meraung dengan tangan yang terus memukuli dadanya.

"Siapapun, tolong," mohonnya lirih.

Tangannya terulur ke udara, berharap seseorang meraihnya. Detik berikutnya, gadis itu merasakan kehangatan yang menggenggam tangan pucatnya. Kali ini Hiranya tidak menatap pemilik tangan tersebut. Ia hanya mempererat genggamannya dengan harap pemilik tangan itu menariknya keluar dari ruang gelap gulita ini.

"Jangan kemari kalau hanya datang untuk pergi," ucap Hiranya parau. Meski begitu, ia tidak melepas tangan yang ada di genggamannya. Gadis itu malah semakin mengeratkan genggamannya.

Semper Paratus Where stories live. Discover now