Panglima itu sangat berterimakasih kepada tuan cendekiawan kerajaan karena sudah memberikan mereka bekal yang berguna. Meskipun sedikit, bekal yang disiapkan oleh Seon Jae Hyun untuk mereka jauh lebih berguna ketimbang membawa begitu banyak namun akan cepat habis dalam dua sampai tiga minggu ke depan.

Ada cukup kain yang dibawakan, belati, hingga dua tong kecil untuk air. Karena keadaan sangat genting, dan Seon Jae Hyun tahu jika mereka bisa bertahan hidup tanpa mengkhawatirkan makanan yang bisa mereka cari di alam luar dengan mudah.

Memang benar, itu cukup mudah karena Hwang Je No juga pandai berburu.

Di siang hari sepasang kekasih itu akan membagi tugas. Hwang Je No melakukan pekerjaannya dalam membangun pondok kecil, terkadang berburu hewan di hutan jika Son Je Ha ingin makan daging. Sementara Son Je Ha melakukan pekerjaan yang lebih ringan, seperti mencari buah, mencuci baju mereka yang kotor.

Namun terkadang Hwang Je No melarang Son Je Ha melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, dia akan menyerobot dan melakukan semuanya sendiri. Alasannya karena Son Je Ha sedang hamil.

Alasan yang logis, lagipula perut wanita itu kini terlihat lebih membuncit dari sebelumnya. Sekilas, sudah bisa terlihat jika Son Je Ha adalah seorang ibu hamil.

Jika mengingat tentang itu, Hwang Je No tak bisa berhenti tersenyum. Ah, dia akan segera menjadi seorang ayah. Ayah sungguhan.

Harus ia beri nama apakah anak pertamanya nanti?

Panglima Hwang, kau harus memberi anakmu nama yang bagus dan baik!

"Besok jangan bergerak terlalu banyak, duduk dan cukup lihat saja, ya?" Pria itu bersuara, sembari memberikan sepotong apel yang telah ia kupas dengan belati pada Son Je Ha yang tiduran dengan nyaman di sampingnya.

"Kenapa begitu? Aku baik-baik saja kok."

"Kau tidak lupa kan jika sedang hamil?" Hwang Yong-Geum menghela.

"Iya iya, ingat."

Kemudian, suasana sedikit menghening. Son Je Ha terlihat menyamankan diri sembari menggulung diri dengan hati-hati di dalam selimut, tepat di samping Hwang Je No yang mengupas apel. Angin terasa dingin, selain karena malam, pun karena mereka menetap di gunung. Namun hari-hari berlalu, ia mulai terbiasa,

Hwang Je No... entahlah, dia nampak baik-baik saja setiap harinya. Staminanya benar-benar luar biasa dan dia tidak pernah terlihat lelah.

Terkadang, Son Je Ha sangat iri. Dia juga ingin memiliki energi seperti Hwang Je No yang masih bisa tersenyum seolah baik-baik saja.

"Maafkan aku ya."

Mendadak, panglima perangnya Goryeo itu meminta maaf di sela-sela keheningan. Son Je Ha yang sempat memejamkan mata, membuka sedikit matanya, menggulir netra beningnya pada Sang pria yang sibuk mengunci pandangan pada apel merah.

"Mengapa?" Wanita muda itu bertanya-tanya.

"Seharusnya kau mendapatkan kehidupan yang lebih layak, bukan menjadi buronan bersamaku yang tidak bisa memberikanmu apapun. Aku mencintaimu, tapi... melihatmu harus berjuang hingga harus menahan rasa sakit, itu jauh lebih menyakitkan untukku."

Hwang Je No adalah manusia paling tulus yang pernah Son Je Ha jumpai selama ia hidup, wanita itu tahu setiap harinya Hwang Je No selalu berpikir seperti ini, dan dia cukup tidak menyukai itu. Dalam situasi ini, kondisi mental mereka sama-sama cukup terguncang.

"Tidak usah memikirkan yang tidak perlu," Son Je Ha menjawabnya, "aku menghargai kekhawatiranmu, Hwang Yong-Geum. Hanya saja... jika kau berpikir untuk melepaskanku agar aku mendapatkan kehidupan yang lebih layak, itu tidak tepat. Apakah kau pikir aku akan bahagia?"

[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The PrologWhere stories live. Discover now