3. VVIP K-2

Mulai dari awal
                                    

Rion harus kembali. Mungkin pria itu akan di usir jika saat ia kembali, Hiranya sudah sadarkan diri. Namun, pria itu tidak bisa terus-terusan melarikan diri seperti ini. Rion akan menghadapi dan menerima perlakuan apapun yang nantinya Hiranya beri.

Rion melangkah menuju wastafel. Menyalakan keran, ia membasuh seluruh mukanya, terutama bagian mata yang memerah. Saat cukup terlihat segar, Rion mengambil beberapa lembar tisu yang ada di laci bawah cermin. Ia menepuk-nepuk pelan wajahnya agar air itu menyerap pada tisu. Setelahnya, tangan pria itu sibuk merapikan pakaian yang lumayan awut-awutan. Tidak lupa juga rambut yang lumayan gondrong itu di rapikan kembali menggunakan jari-jari panjangnya.

Dirasa cukup, Rion melangkahkan kakinya menuju ruangan Hiranya. Sesampainya di sana ia menarik napas kembali. Lalu dengan pelan, membukakan pintu bergeser itu.

Rion mematung. Di sana telah kosong. Tidak ada siapapun. Maka pada saat seorang suster lewat, ia bertanya, "Maaf, Sus, pasien perempuan yang ada di kamar ini kemana, ya?"

"Oh anda keluarga pasien tersebut, ya? Pasien sudah di pindahkan ke ruang rawatnya di kamar VVIP K-2," jawab suster itu dengan sopan.

"Lebih cepat dari yang saya kira, ya? Padahal tadi di meja administrasi tertulis akan di pindahkan pukul 08.00." Rion memeriksa jam yang terpajang di ruang UGD. "Sekarang masih pukul 06.41, loh." Rion memang sudah menduga ini, tapi dia tidak memprediksi akan secepat ini.

"Dari yang saya dengar melalui Dokter Anne, Pak Presdir memberi perintah untuk segera memberi perawatan intensif dan memindahkan pasien," beber suster itu tenang, tanpa melihat air muka Rion yang berubah masam.

Rion menggertakkan giginya. Kedua tangannya terkepal. Matanya pun melotot garang. "Ha! Anjing di sini kerjanya cekatan, ya."

"Maaf?" Suster itu mundur selangkah. Secara alami, tubuhnya bergetar akibat rasa takut yang menyelimuti ketika melihat wajah Rion.

"Ah, tidak. Saya tadi berbicara dengan diri saya sendiri." Rion tersenyum hingga memperlihatkan beberapa deretan gigi putih yang berjejer rapi. Saat tersenyum seperti itu tampangnya menjadi lebih menyeramkan dari sebelumnya.

"O-oh ... be-begi-tu, ya. Kalau begitu sa-saya pamit, ya," cicit suster itu dengan suaranya terbata-bata. Tanpa menunggu respon Rion, ia berjalan cepat tanpa menoleh ke belakangnya.

Rion masih berdiri di sana. Ia masih diliputi kekesalan. Orang itu ikut campur. Tanpa memberitahu tujuan atau setidaknya menanyakan keadaan Hiranya. Orang egois itu memang selalu bertindak sesuai keinginannya.

Tangan kekarnya terkepal. Meninju keras tembok di samping pintu. Beberapa orang yang sedang berlalu lalang tersentak dan memberikan tatapan sinis. Namun, Rion tidak peduli. Pria itu hanya ingin menyalurkan kekesalannya.

Retakkan-retakkan pada tembok mulai muncul. Beberapa batu bata telah luruh mengotori lantai putih yang tadinya bersih. Buku-buku jarinya pria itu pun mulai lecet dengan sedikit darah keluar.

Tidak ada yang menghentikannya, baik dokter, suster atau pengunjung yang mulai membuat kerumunan dan berbisik-bisik sinis. Sepertinya mereka tahu, jika sekarang mereka mengganggunya, maka mereka sendiri yang akan kena imbasnya. Identitasnya pasti sudah terbongkar dari mulut ke mulut. Yah, ketimpangan sosial memang masih berlaku tanpa memedulikan tempat dan waktu.

Di saat seperti ini dia memang bersyukur terlahir di keluarga yang memiliki kekuasaan. Mampu bertindak semaunya tanpa diganggu. Bener-benar seperti manusia brengsek.

Yah, gue emang brengsek!

Bisik terang-terangan dari orang-orang di sekelilingnya terdengar jelas. Seakan sengaja agar dirinya mendengar. Yah, Rion memang mendengar tetapi ia tidak ada niat untuk berhenti merusak fasilitas rumah sakit itu.

Pukulannya terhenti setelah ia merasakan sebuah tepukan bersarang di pundaknya. Dengan lirikkan sinis, Rion menoleh pada orang yang sudah berani mengganggunya.

"Lepas."

Bukannya melepas, orang yang mengganggunya malah memberi tinjuan tepat di bawah dagunya yang memiliki bentuk terbelah. Pria itu meringis dengan masih memberikan lirikan sinisnya.

"Apa-apaan lo, Mbak?!" sergahnya yang memicu makian dari orang-orang di sana.

Bukannya menjawab, wanita itu malah berdiri di tengah kerumunan. Ia membungkukkan sedikit badannya lalu berkata, "Maaf atas keributan yang timbul oleh kerabat saya. Dan saya harap anda sekalian melanjutkan aktivitasnya kembali."

Para suster dan perawat yang tadi hanya mampu menonton dan mencegah hal buruk terjadi, kini membantu membubarkan kerumunan. Bisik, makian, hinaan masih terdengar dari orang-orang itu.

"Kamu bocah caper?" Wanita itu berdiri tegak di hadapan Rion setelah memastikan kerumunan massa bubar.

"Ha?!" Dengan kesal Rion menjawab.

Bukannya menjawab, wanita itu malah sibuk merogoh tas selempang hitamnya, mencari sesuatu. Ia duduk di bangku panjang lalu menarik tangan Rion.

"Kalo kamu bukan bocah caper, enggak mungkin kamu menikmati jadi tontonan seperti tadi," sarkas wanita itu dengan sibuk mengobati buku-buku jari Rion yang berdarah. "Dan lagi, sebenarnya apa yang lagi kamu lakuin di sini, Rion? Kamu bukan seperti Rion kakaknya Hiranya yang saya kenal," lanjutnya.

Rion tersentak saat nama Hiranya diucapkan. Ia lupa tujuan utamanya dan malah bertindak impulsif.

"Hiranya ada di kamar VVIP K-2 lantai tiga. Mbak Shia duluan aja, biar gue yang lanjutin ini," jelas Rion. Tangannya merebut plaster yang baru saja akan Shiara tempelkan.

Shiara menghela napas. Lalu mulutnya mengatakan sesuatu yang membuat Rion menganga lebar.

"Mas Alam tadi telepon saya. Mau ngasih kabar kalo Hiranya udah sadar, tapi dia enggak bisa hubungin kamu. Dia titip pesan, katanya Hiranya mau bubur ayam yang ada di sebrang rumah sakit ini. Dia mau kamu yang belikan."

*******

Kepada air, aku berharap tetesannya dapat meleburkan kerasnya hatimu.
Kepada angin, aku berharap hembusannya mampu menggoyahkan keras kepalamu.
Kepada tanah, aku berharap pijakannya mampu membawa langkah kakimu padaku.

Sebab,
Kamu masih sangat berharga.
Biarpun kata-katamu menyanyat jiwa.
Kamu yang sangat istimewa.
Biarpun ragaku kamu jatuhkan dengan paksa.
Aku tidak akan lupa.
Jika semua itu hanya perlindungan diri semata.

_______

Terima kasih.
Sampai jumpa lagi.

-Ais.

Semper Paratus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang