Epilog

210 31 7
                                    

Ratu mengelap keringat yang membanjiri keningnya. Hampir saja ia ketinggalan kereta terakhir jika tidak berlari seperti orang kesetanan.

Tak banyak orang di gerbong yang Ratu tempati, hanya segilintir manusia-manusia berwajah lelah. Beberapa tampak terkantuk-kantuk sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Tak jauh darinya, seorang lelaki yang sepertinya seumuran dengan Ratu, sibuk mengotak-atik ponsel. Kedua telinganya disumpal earphone. Ratu hendak mengalihkan pandang, tapi urung saat melihat tas yang dipeluk lekaki itu.

Seketika Ratu geleng-geleng kepala sambil membatin. “Ternyata wibu!”

Tas lekaki itu memang dipenuhi pin bergambar anime yang entah apa Ratu tak tahu. Satu-satunya yang ia kenali hanyalah tokoh berambut kuning terang dengan kumis kucing menghiasi wajahnya—yang terlihat sangat mencolok dibanding pin yang lain.

Setelah puas memandangi tas khas wibu tersebut, Ratu beralih menatap pemiliknya. Sayang ia tak dapat melihat jelas wajahnya karena tertutupi masker serta rambutnya yang agak gondrong.

Ratu mengambil napas pendek. Kali ini dia benar-benar berhenti memperhatikan lelaki wibu itu. Ratu ikut menyilangkan kedua tangan dan menjaga matanya agar tetap terbuka. Jangan sampai dia ketiduran di dalam kereta.

Tak lama, kereta berhenti di stasiun tujuannya. Ratu berdiri dan melangkah tergesa menuju pintu. Karena tak berhati-hati, ia hampir saja terpelosot celah peron. Untung saja seseorang menahannya.

“Ah, makasih,” gumam Ratu masih dalam keadaan kaget. Rasa kantuknya seketika hilang.

“Lain kali hati-hati,” ujarnya sambil sama-sama melangkah turun dari kereta.

“Iya. Sekali lagi maka—” Ucapan Ratu terhenti saat menyadari siapa yang sudah menolongnya.

“Sama-sama!” Lelaki itu melengos mendahului Ratu tanpa menunggu gadis itu menyelesaikan ucapannya.

“Tunggu!” panggil Ratu tanpa sadar. Lelaki itu kembali menoleh sembari menatap Ratu penuh tanya.

“Itu ... tas lo kebuka.” Dengan bantuan cahaya lampu yang cukup terang, kali ini Ratu bisa melihat sedikit wajahnya dan ia merasa tidak asing. Apalagi saat menyadari tinggi badannya.

Namun Ratu tak mengatakan apapun lagi, dia membiarkan lelaki itu berlalu setelah mengucapkan terima kasih padanya. Sementara dirinya berjalan di belakangnya menuju arah yang sama.

“Ratu!” Begitu keluar dari stasiun, Bastian langsung menyambutnya. Ia tersenyum lebar sambil melambai-lambaikan tangan.

“Kok kamu di sini Bas?” Buru-buru Ratu menghampirinya.

“Kamu nolak waktu aku bilang mau jemput dan lebih milih naik kereta, jadi yaudah aku tunggu kamu di sini aja.”

“Kamu nunggu dari kapan?”

“Nggak lama kok,” dusta Bastian karena sejujurnya ia sudah stay di sana sejak Ratu mengirimnya pesan bahwa dia sudah berada di kereta.

“Padahal kamu nggak usah jemput aku.”

“Nggak apa-apa, lagian stasiunnya deket sama apartemen kita.”

“Lain kali nggak usah, kamu juga pasti capek kan pulang dari kantor Papa kamu?”

“Hari ini nggak banyak yang aku kerjain kok. Aku malah nemenin Mbak Dianti nonton drama—Oh iya!” pekik Bastian tiba-tiba. Matanya melebar dengan sangat antusias. “Kamu tau nggak ternyata Na—”

“Dewa!” Lagi-lagi ucapan Bastian terpotong. Namun kali ini oleh seruan seorang perempuan yang memanggil nama tak asing untuk Bastian dan Ratu. Mereka berdua kompak sudah menoleh ke arah sumber suara.

Ratu bisa melihat cowok wibu tadi berjalan menghampiri perempuan itu.

“Kok Kakak yang jemput?”

“Mang Ujang masuk angin terus tadi kebetulan Kakak lagi di luar jadi sekalian disuruh jemput kamu.”

“Yaudah sini aku yang nyetir.”

“Nggak usah sok-sokan! Kamu belum punya SIM.”

“Tapi aku udah bisa nyetir.”

“Nanti ya kalau udah punya SIM kamu baru boleh bawa mobil.” Perempuan itu masuk ke dalam mobil sementara si lelaki masih mematung. Mungkin dia kesal karena tak diijinkan mengemudi.

“Dewangga cepet masuk, udah malem!”

“Iya.” Lekaki itu melepas maskernya dan menarik pintu mobil. Sebelum masuk ia sempat menoleh sekilas ke arah Ratu dan Bastian yang masih memperhatikannya.

Lalu dalam hitungan detik, mobil itu melaju menjauhi mereka.

“Dia Dewa pacar kamu Tu?” ujar Bastian syok.

“Tadi cewek itu manggil dia Dewangga kan?” Bastian mengangguk.

“Dia bener-bener Dewa yang kita kenal?”

“Muka sama namanya sih sama.”

“Kok bisa?” Ratu sama syoknya dengan Bastian. Pantas saja sejak tadi dia merasa tak asing. Rupanya dia benar-benar Dewa.

“Aku harus nanya lagi ke Mbak Dianti, Dewa siapanya dia. Aku yakin pasti berhubungan soalnya hari ini aku juga ketemu Naim.”

“Naim? Naim temen kamu di dunia mimpi?”

“Iya.”

“Ketemu dimana?”

“Di drama.”

“Drama?”

“Iya. Dia ternyata artis Thailand kesukaan Mbak Dianti.”

“Hah?”

Yeay sekarang beneran selesai lengkap dengan epilog ^^

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

Yeay sekarang beneran selesai lengkap dengan epilog ^^

Make Your Dream Project [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя