20 :: Pulang

148 35 6
                                    

Ratu menatap iba Diantika yang terlihat frustasi sambil mengotak-atik ponsel pintarnya. Entah sudah panggilan yang keberapa kali, Diantika sejak tadi sibuk sampai tak punya waktu untuk menangisi kepergian atasannya.

Pagi ini berita kematian Atmadja sudah menyebar cepat dan menjadi headline news di semua media. Puluhan karangan bunga sudah berjejer rapi di depan kantor berisi ucapan bela sungkawa.

Belasan reporter menunggu di depan sana untuk mencari kabar terbaru yang bisa diberitakan. Sementara rekan-rekan Diantika sibuk mengurus berbagai hal. Beberapa pengawal telah dikerahkan untuk mengamankan prosesi pemakaman.

Di tengah kekacauan itu, seorang perempuan muda berlari menghampiri Dianti yang baru saja selesai menutup ponselnya.

“Mbak Dianti!” serunya dengan napas tersenggal-senggal.

“Keluarga Pak Atmadja ingin bertemu Mbak.”

Dianti tampak menghela napas, tapi kemudian dia mengangguk. “Saya berangkat sekarang, kamu tolong gantiin saya ngecancel acara ulang tahunnya Bastian.”

Perempuan itu mengangguk lalu balik badan dan pergi entah kemana.

“Ratu maaf, banyak yang harus aku urus. Kamu ditinggal di sini nggak apa-apa?”

Ratu tersenyum kecil sambil mengangguk. “Aku bakal di sini jagain Bastian.”

“Makasih.” Kemudian Dianti pergi meninggalkan Ratu yang kini memilih tinggal di ruang Bastian.

Di tengah kekacauan itu, sosok Bastian masih terpejam di ranjang laboratorium. Wajahnya terlihat tenang seperti manusia yang tak memiliki beban. Ratu jadi bertanya-tanya apa yang akan terjadi bila lelaki itu terbangun dan mendapati ayahnya telah tiada.

“Padahal kamu udah punya segalanya. Kamu punya keluarga yang hebat, harta yang nggak akan habis serta dikelilingi orang-orang yang peduli padamu, tapi kenapa kamu malah memutuskan untuk mengerjar aku yang bukan siapa-siapa? Bahkan sampai ke dunia mimpi?” Ratu bermonolog di samping ranjang Bastian.

Dia menyentuh pipi Bastian, mengusapnya pelan dan hati-hati seolah dia sedang menyentuh barang paling berharga di dunia.

Bersamaan dengan itu, memorinya berputar ke belakang. Tepatnya sehari setelah dia mendaftarkan diri untuk berpartisipasi dalam MYDP.

Waktu itu tiba-tiba Atmadja menemuinya. Ratu sudah tahu siapa Atmadja, tapi dia tidak tahu bahwa Atmadja juga terlibat dalam proyek MYD.

“Saya datang ke sini untuk memastikan apa kamu sudah yakin ingin mengambil progran eternal dream?” tanya Atmadja. Suaranya tenang dan karismatik.

“Iya, saya sudah memikirkannya berkali-kali.”

“Meski itu artinya kamu akan meninggalkan kehidupan kamu seutuhnya di sini dan meninggalkan orang-orang yang peduli sama kamu?”

Ratu mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Nggak ada orang yang peduli sama saya mau saya hidup atau mati, dan ikut program eternal dream adalah opsi yang lebih baik daripada mengakhiri hidup begitu saja kan?”

Atmadja menghela napas dalam-dalam sembari sibuk memutar otak untuk mencari cara membujuk gadis di depannya agar mengurungkan niatnya mengambil program mimpi abadi itu. Atmadja tidak bisa membiarkannya karena ia tahu gadis di depannya adalah gadis yang disukai putranya.

“Apa keputusanmu ada hubungannya dengan orang tuamu? Saya dengar mereka bukan orang tua kandungmu.”

“Itu hanya salah satunya.”

“Dan soal nenekmu?”

“Nenek saya udah lama meninggal, tapi jika nenek masih ada mungkin saya memang akan mempertimbangkan untuk tetap hidup di sini.”

Make Your Dream Project [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang