16 :: Terlupakan

114 36 17
                                    

“Lah, lo nggak jadi pindah Bas?” Erwin menghampiri Bastian yang tengah sarapan di cafetaria asrama. Lelaki itu meletakan nampan dan menarik kursi di seberang Bastian.

“Pindah?” tanya Bastian bingung. “Pindah kemana maksud lo?”

“Pindah sekolah. Katanya lo mau pindah sekolah lagi.”

“Kabar dari mana tuh? Gue baru aja pindah ke sini yakali udah pindah lagi.”

“Nah, makanya gue bingung. Mana hape lo dari kemaren nggak aktif terus lo seharian nggak ada di asrama jadi gue kira lo beneran pindah.”

“Oh, kemarin gue pulang ke rumah terus hape gue ketinggalan di kamar dan gue balik mepet jam malam terus nggak sempet ngecek hape,” jelas Bastian tanpa jeda.

Tak lama kemudian Naim muncul dan bergabung bersama mereka. Dia menanyakan hal yang sama dengan Erwin dan Bastian pun menjawab sama persis. Selah itu mereka menikmati sarapan sambil mengobrol ringan.

Hanya saja ada yang berbeda dari obrolan mereka biasanya. Tidak sekalipun nama Ratu keluar dari mulut Bastian kala itu padahal biasanya apapun topik obrolan mereka, setidaknya Bastian akan menyinggung nama Ratu sesekali.

Sementara itu, tepatnya di sebuah kamar asrama di lantai tiga terlihat seorang lelaki jangkung tengah memandang sebuah buku catatan dengan raut serius. Berulang kali ia membolak-balikan catatan itu, membaca nama yang tertera di sana sambil mengerutkan dahi bingung.

“Ini punya lo?” tanya Dewa pada teman satu kamarnya.

Lelaki dengan seragam olahraga yang sedang memakai sepatu itu menolehkan kepala ke arah Dewa. “Hah? Bukan.”

“Punya temen lo barang kali?”

“Coba liat!” Dewa menyerahkan buku catatan itu pada temannya.

“Quratuain Nahaira siapa? Gue nggak kenal.”

“Kalau bukan punya lo atau temen lo terus punya siapa?”

“Gak tau. Nggak sengaja kabawa lo kali Dew, coba aja balikin ke orangnya. Di situkan ada nama sama kelasnya juga.” Buku catatan itu kembali ke tangan Dewa dan pada akhirnya dia putuskan untuk dibawa ke sekolah.

Sambil menyeruput susu kotak yang ia bawa dari asrama, Dewa melangkah ringan menuju gedung sekolah. Seseorang menyapanya ketika ia sampai di koridor yang kemudian ia balas hanya dengan satu senyuman kecil.

Suasana sekolah belum terlalu ramai karena Dewa melewatkan sarapan sehingga dia bisa berangkat lebih pagi. Gemeresik dedaunan menyapa lembut telinganya ketika angin berembus agak kencang. Pagi ini langit terlihat mendung, sepertinya hujan siap bertamu dalam waktu dekat.

“Prita!” Dewa berseru memanggil seorang gadis mungil berkucir kuda.

“Hai Dew.” Gadis itu menyapanya dan mengurungkan niatnya untuk langsung masuk ke dalam kelas.

“Di kelas kamu ada yang namanya Quratuain Nahaira?” tanya Dewa tanpa basa-basi.

“Siapa?” Nama yang diucapkan Dewa sepertinya agak sulit untuk dicerna.

“Quratuain Nahaira.” Dewa menyebutkan lagi nama itu sembari mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. “Aku nemuin buku ini dan di sini sih tertulis dia anak kelas IPA 3 sama kaya kamu.”

“Eh? Tapi di kelasku nggak ada yang namanya Quratuain Dew.”

“Masa?”

“Iya. Aku hapal nama semua teman-teman sekelasku kok.”

“Terus ini buku siapa ya?”

“Mungkin punya kakak kelas yang dulunya masuk kelas ini.”

“Oh iya, bisa jadi,” kata Dewa seolah tercerahkan. “Yaudah Ta, aku kelas dulu kalau gitu.”

Make Your Dream Project [END]Where stories live. Discover now