03| Percakapan dengan Malaikat

475 105 13
                                    

SELAMAT MEMBACA

Tuhan tidak membedakan setiap makhluk ciptaanya.

Jadi, kenapa kau terus menyalahkan Tuhan atas semua hal buruk yang menimpamu?

Dalam kegelapan pekat, tubuh gersang Lucifer meleleh dalam genangan hitam tempatnya berpijak. Lucifer kian terbenam.

Manusia yang menghakimimu sebagai makhluk terjahat di dunia ini, bukan Tuhan. Sosokmu yang mengerikan membuat manusia berpikir kaulah yang terjahat kemudian karena tidak terima, kau mulai menebar keburukan di seluruh penjuru bumi bersama para bawahanmu.

Lucifer tetaplah iblis terkejam di mata manusia, kau yang terburuk.

Tapi ... Lucifer, apa yang akan kau lakukan padanya?

Pada satu-satunya manusia yang memberikan cinta padamu?

Sebuah kepulan asap muncul, membentuk postur gadis kecil mendekap seonggok bunga aster putih sambil melayangkan senyum tulus.

Lucifer sangat kenal gadis kecil itu, namanya Candeti Puella, biasa dipanggil Puella.

Dari sekian banyaknya doa buruk juga sumpah serapah yang dia tangkap dari manusia, hanya ada satu doa yang membuatnya terusik dan merasa kesal, yakni doa dari gadis kecil bernama Puella tersebut. Puella terus mengirim doa-doa baik, berharap Lucifer bisa secantik aster putih, merasakan apa itu bahagia dan cinta karena tidak ada yang mau berdoa untuk kebahagiaan Lucifer

Lucifer angkat kepala, kini air yang menenggelamkan hanya menyisakan mata merah penuh dendam terhadap manusia dan Tuhan. Mata Lucifer berpendar ketika asap itu lenyap namun, suara yang terus bergaung di sekitar justru memberikan tawa mengejek.

Argh!

Lucifer mengerang, terbangun dalam posisi terduduk di atas ranjang besar empuk nan mewah. Napas Lucifer memburu mengingat tubuhnya tenggelam dalam ruang dimensi ciptaan malaikat yang ingin terhubung dengannya.

"Apa yang terjadi, Satan?!"

Lucear muncul dibarengi air muka panik sementara Lucifer angkat tangan sebagai kode bahwa dia baik-baik saja.

"Kastel berguncang karena teriakan Anda, para pilar telah berdatangan."

Lucifer mengembuskan napas. Para pilar itu adalah penjaga atau pasukan khusus Lucifer yang diantaranya adalah Lucear, Areil, Veela dan Kokitos.

"Suruh mereka kembali, kau pun," titah Lucifer.

***

Langit menggelap, anjing-anjing menyalak tanpa henti di depan rumah Viena.

Viena tidak bekerja karena sakit dan Puella begitu telaten merawatnya namun, gonggongan anjing membuat Puella sedikit kesal.

"Hush ... Hush ... " Puella mengibaskan tangan pada sekumpulan anjing tersebut. Mulut maju dengan wajah memerah karena lelah mengusir anjing yang tidak ada niat berhenti menyalak.

"Kenapa anjing itu tidak mau diam, ya, Ma?" Puella menutup pintu rapat, mendekati Viena duduk di lantai kayu berlapis kain besar dan sebuah bantal untuk penyangga kepala.

"Sepertinya ada tamu." Viena menjawab asal sambil mengusap rambut indah Puella.

"Uhuk! Uhuk!" Viena meraih sapu tangan, menutup mulut. Ketika sapu tangan dijauhkan, bercak darah terlihat.

"Mama!" Puella memekik.

"Hah ..." Napas Viena menjadi agak berat, keringat terus keluar membanjiri area pelipis dan leher.

Puella tampak bingung dan resah kendati demikian bergerak untuk mengambilkan minum dan usai Viena meneguknya, mata itu perlahan mengatup, Viena lelah dan tertidur walau demikian Puella tahu bahwa tidurnya tidak nyaman.

Di Nkrink tidak ada penjual obat atau dokter jadi demi kesembuhan Viena, Puella merogoh beberapa kocek dari laci dan pergi keluar sambil menggunakan mantel lusuh untuk pergi ke pusat kota.

Telunjuk Lucifer luruh melihat Puella meninggalkan rumah. Viena hanya demam, tapi menggunakan kekuatannya, Lucifer memperparah kondisi Viena.

"Tsk!" Lucifer berdecak kemudian mengekori Puella.

***

"Hah ... memang tubuh kecilmu itu bisa melawan hujan besar?"

Lucifer baring tengkurap di udara sambil menopang wajah, menatap langit gelap, dan Puella jalan terpincang-pincang melawan angin kencang.

Setelah berjalan 40 menit, akhirnya Puella sampai di toko penjual obat herbal. Tangan kecil Puella yang memerah dan menggigil, menjentik ke atas untuk menyerahkan beberapa lembar uang kusut.

"P ... paman tolong berikan aku obat penurun demam dan juga obat batuk. Ibuku batuk darah."

Pemilik toko menatap nanar Puella kemudian memberi obat dalam wadah kertas.

"Dari mana asalmu nona kecil?"

"Nkrink."

"Kau sendirian kemari?"

Puella angguk kepala. "Iya."

"Kalau begitu terima kasih, Paman!" Puella langsung melesat, bergegas pulang sebelum cuaca kian memburuk.

Lucifer kembali membututi sampai hujan turun begitu deras, membasahi mantel kecil Puella sedangkan Lucifer tak tersentuh hujan karena lapisan sihir yang diciptakan pada sekitar tubuhnya.

Masih dua puluh menit lagi untuk sampai ke rumah namun, Puella kian menggigil hingga bibir ranum yang terlihat segar sebelumnya menjadi pucat dan bergetar.

"Cepatlah mati." Lucifer berharap.

Lucifer tidak bisa membunuh manusia tanpa rasa kebencian terhadapnya, maka dari itu, Lucifer tidak bisa membunuh Puella dengan tangannya sendiri.

"Kali ini aku mengandalkanmu alam," kata Lucifer sambil bersedekap dada, pandangan tak lepas dari Puella yang mulai terhuyung-huyung.

Senyum Lucifer merekah tatkala Puella mengusruk di tanah. Mantel, wajah dan tubuh gadis itu kotor namun, dengan tungkai bergetar dan rapuh, Puella kembali bangkit dan lanjut berjalan hingga raut senang di wajah Lucifer lenyap.

Waktu terus bergulir, dingin mulai membekukan persendian Puella padahal sebentar lagi rumah akan terlihat namun, Puella jatuh tengkurap dan tidak sadarkan diri.

Lucifer berhenti mengambang di udara, mendarat di tanah basah saat hujan masih menangis kian deras. Lucifer mengulas senyum, berusaha menunjukkan bahwa dirinya senang melihat kondisi Puella sekarat, tapi dia salah.

Tangan besar Lucifer justru terulur, membawa Puela dalam gendongan. Tak peduli jas mahalnya basah dan kotor, Lucifer melangkah elegan untuk membawa Puela pulang.

Senyum Lucifer telah luntur, kini ia berdiri di depan pintu rumah. Mengetuk dua kali dan pintu sontak terbuka, menampakkan Viena dibarengi raut wajah kelewat cemas.

Viena tertegun untuk sesaat melihat pria amat tampan dan gagah membawa pulang Puella yang tak sadarkan diri.

"P-puella!" Viena langsung mengambil alih Puella.

Lucifer diam memperhatikan sebelum raib dalam sekejap.

"Terima kas—"

Ucapan Viena terhenti, tidak ada siapapun kecuali kehampaan di balik derasnya hujan depan rumahnya.

"Kemana pria itu?" Viena bergumam.

BERSAMBUNG ...

Luciel: Blooms Repeatedly✔️Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt