4.9 EXTRA PART SEPTIHAN: DITERIMA

Start from the beginning
                                    

"Enggak," Septian menjawab. "Aku emang lagi ngagumin kamu."

Bohong kalau Jihan bilang dia tidak salah tingkah. Bahkan mungkin kini sudah berteriak di dalam hatinya. Namun tetap saja ia harus menjaga ekspresinya.

Itu hukuman untuk Septian agar tidak semena-mena padanya.

"Did I hurt you too much? Apa terlalu dalem?" tanya Septian pada Jihan.

Seketika itu Jihan terdiam dan duduk tegap di samping Septian. "Jujur aku masih belum bisa denger kamu sama Alis. Wajar kan kalau aku ngerasa kaya gini ke kamu?" tanya Jihan.

"Wajar kamu kan punya hati. Bilang aja," ujar Septian.

"Aku gak mau keliatan kekanakan di mata kamu. At least aku masih bisa berdiri di kaki aku sendiri. Karena aku sadar aku terlalu bergantung sama kamu. Dan itu gak baik juga ternyata," Jihan menarik napas.

"Aku suka kamu bergantung sama aku. Itu nunjukin kalau aku berguna," jawab Septian.

"Aku cuman merasa yang tentang Alis udah terlalu berlebihan," Jihan menaruh gelas itu di kursi sebelah.

"Iya it's okay aku juga ngerasa hal yang sama."

"Kamu ngerasa hal yang sama?"

Septian mengangguk dan mengambil tangan Jihan agar tidak tampak gelisah di sampingnya. Agar Jihan tahu kalau Septian berada di pihaknya.

"Septian?"

"Iya Kek?"

Kakeknya, David datang lalu tersenyum pada Jihan yang dibalas Jihan sama meski Jihan masih bingung terhadapnya.

"Kakek udah bilang sama Pak Albern. Dia juga maunya begitu. Biar Alis gak terlalu deket sama kamu. Karena kamu gak mau," ujar David pada cucunya.

"Jadi gimana Kek?"

"Kemungkinan nanti dia bakal bicara sama putrinya."

Septian mengangguk tegap. "Makasi Kek."

"Iya udah kamu sama Jihan di sini aja. Kakek mau ngobrol sama Paman kamu dulu di depan. Dia baru dateng."

Jihan termangu beberapa detik. Benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa saking tak percayanya. Tadi Kakek Septian menyebut namanya. Na-ma-nya.  Jihan. Seperti itulah. Panggilan itu sangat jarang ia dengar keluar dari mulut Kakek Septian. Mendengarnya membuat Jihan seolah-olah merasa dihargai di keluarga ini.

"Kenapa?"

"Tadi Kakek kamu nyebut nama aku?" Jihan masih takjub.

"Iya Jihan."

Jihan tidak tahu apakah ia harus menangis di sini atau justru menahan diri. Membuat Septian yang mengerti perubahaan suasana hati Jihan yang secara mendadak mengulurkan kedua tangannya dan memeluk perempuan itu.

"Beneran Kakek kamu tadi kaya gitu?"

"Beneran Jihan?"

"Ah yaampun aku lebay banget gitu aja aku pengen nangis." Jihan merasa sesak di dalam dadanya. Membuat Septian menatapnya khawatir.

"Kamu mau aku anter pulang biar bisa istirahat?"

"Enggak," Jihan menjawab cepat. "Aku masih mau di sini." Jihan tersenyum pada Septian.

"Nangis aja kalau itu bikin kamu lega," ujar Septian.

"Kamu jangan gitu ntar aku beneran nangis di sini."

"Sebenernya Kakek emang butuh waktu untuk kenal sama orang. Jadi gak bisa langsung cepet akrabnya. Mungkin ada yang langsung cepet mungkin itu karena udah kenal orangtuanya," Septian menjelaskan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 07, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEPTIHANWhere stories live. Discover now