Rumah Sakit Jiwa

Start bij het begin
                                    

"Tidak apa-apa, Jov," balasku menatap lurus ke depan.

"Muka kamu terlihat tegang."

"Iya. Aku hanya takut ingatan buruk di masa lalu kembali lagi."

"Kalau begitu, sebaiknya kita pulang saja."

"Tidak apa-apa, Jov."

Aku berjalan cepat, menuju resepsionis. Kemudian menanyakan tentang surat pernyataan itu. Pihak rumah sakit, mengiyakan kalau surat itu berasal dari sini.

"Apa pasien dengan nama di surat itu pernah dirawat di sini?" tanyaku.

"Mohon maaf, apa hubungan kamu dengan pasien ini?" tanya Pekerja rumah sakit.

Jovita meremas tanganku. Kini malah ia yang terlihat gugup. "Saya adalah orang yang namanya tertera di surat itu," balasku.

"Jadi kamu Alby Novrian?"

"Iya."

Pekerja itu pergi sembari membawa surat pernyataan itu. Memasuki ruangan yang tidak jauh dari meja respsionis. Tak lama kemudian, ia ke luar bersama seorang dokter. Kulihat tanda pengenal di pakaiannya. Dokter Wendi. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

"Saya mau menanyakan soal surat pernyataan itu. Apa saya pernah dirawat di sini?"

Dokter Wendi menatapku, "Apa kamu ke sini bersama keluarga?"

"Tidak, saya ke sini bersama teman."

"Sebaiknya kita bicarakan saat keluarga kamu datang."

"Mereka tidak akan datang, Dok."

"Apa kamu tidak menghubungi keluargamu?"

"Iya. Jadi tolong jawab, apa saya pernah dirawat di sini."

"Ya, kamu pernah dirawat di sini."

"Apa alasan saya dibawa ke sini?"

"Saya tidak bisa memberitahu itu."

"Kenapa, Dok?"

"Kamu perlu ada pendamping dari pihak keluarga."

"Mereka tidak akan datang, Dok!" Aku meninggikan suara.

Beberapa perawat yang berdiri di belakang Dokter Wendi terlihat tegang. Namun, Dokter Wendi tampak lebih tenang. "Saya tau, Alby. Tapi untuk membuka data pasien kami harus mendapatkan izin dari pihak keluarga. Kamu harus mengerti itu."

"Saya tidak memiliki nomor telepon mereka, Dok."

"Apa mau kami yang menghubungi keluargamu?"

"Baiklah kalau begitu."

Dokter Wendi mengajakku dan Jovita ke sebuah ruangan dengan sofa yang begitu empuk. Kemudian memberi kami camilan dan minuman.

"Kamu harus bisa mengontrol emosi, By," ucap Jovita, pelan.

"Iya, Jov," balasku.

Setengah jam berlalu, kami masih dibiarkan menunggu di ruangan ini.

Kriet!

Pintu terbuka. Dokter Wendi berjalan masuk. Di belakangnya ada seseorang yang wajahnya tak asing bagiku. "ALBY!" Orang itu berlari mendekat dan memelukku. "Kamu ke mana saja? Selama dua tahun ini, tante sama om sudah mencari kamu ke mana-mana," ucapnya.

Oh, berarti ia adalah tanteku. Kulepas pelukannya, "Kenapa tante membawaku ke sini?"

"Itu karena kondisi kamu memang sedang tidak baik-baik saja."

"Jawab yang jelas, Tan! Kenapa tante membawa aku ke sini!" Aku meninggikan suara, sembari memasang wajah marah.

Jovita menepuk pundakku, "Sabar, By."

"Biar Dokter Wendi saja yang menceritakannya," ucap Tante.

Dokter Wendi memintaku duduk dengan tenang. Kemudian ia menceritakan alasan aku dibawa ke sini. "Saat itu, kamu dalam kondisi depresi berat. Beberapa kali berniat mengakhiri hidup. Sempat satu kali hampir berhasil dan berujung koma selama beberapa hari," jelasnya.

Setelah koma itu, kondisiku semakin memburuk. Saat malam, aku sering menjerit ketakutan. "Kamu mulai berhalusinasi melihat hantu dan semacamnya," imbuhnya.

"Iya, By. Perawat terpaksa memberi kamu obat penenang agar bisa tidur," timpal Tante.

"Berbagai cara kami lakukan agar kamu bisa melupakan kejadian traumatis itu. Perlahan, kamu pun bisa mulai melupakannya sedikit demi sedikit. Kamu juga sudah bisa tidur malam dengan tenang. Namun, kamu terus menyebut nama Ellea. Kamu bilang bisa melihat Ellea dan berbicara dengannya," ucap Dokter Wendi.

"Kemarin saya masih bisa berkomunikasi dengan Ellea. Sampai tadi malam ia menghilang," balasku.

"Menghilang ke mana?" tanya Dokter Wendi.

"Dia diculik oleh raksasa dan dibawa ke Gua Jepang."

Dokter Wendi menghela napas dan menoleh pada tante. "Apa sekarang ia ada di sini?" tanya Tante.

"Tadi sudah aku bilang, dia dibawa pergi ke Gua Jepang," balasku, sedikit kesal. Kenapa mereka sering mengulang-ulang pertanyaan.

"Apa kamu masih bisa melihat sosok lain, selain Ellea?" tanya Dokter Wendi.

"Kadang-kadang."

"Apa mereka mengganggu waktu tidur kamu?"

"Yap, kadang-kadang."

"Apa sekarang kamu mulai mengingat kejadian masa lalu?"

"Tidak, Dok. Bahkan, sebenarnya aku tidak mengingat tante."

Wajah Dokter Wendi berubah heran. "Boleh kamu ceritakan sejauh mana kamu ingat tentang keluarga kamu."

"Aku hanya ingat kenangan bersama ayah dan bunda. Serta dua tahun terakhir hidup bersama Ellea," balasku.

"Alby juga tidak mengingat teman sebangkunya saat SMA," sahut Jovita.

"Hmm, baiklah. Apa kamu ada keluhan lain?"

"Tidak, Dok."

"Baiklah."

"Kalau begitu saya boleh pergi sekarang?" Aku izin pamit.

"Kamu mau ke mana, By?" tanya Tante.

"Aku mau pulang ke rumah kontrakan, Tan."

"Untuk apa pergi ke sana, By. Kamu pulang ke rumah tante saja."

"Barang-barang aku dan Ellea masih tertinggal di sana."

"Ellea sudah meninggal, By. Kamu harus bisa menerimanya."

"Iya, aku tau!" sahutku, kesal, lalu bangkit.

"Pulang ke rumah tante saja, By." Tante memegang tanganku.

"Tidak, Tan. Nanti tante membawaku ke sini lagi. Aku tidak mau!"

"Tapi itu semua demi kebaikan kamu juga."

"Sekarang, aku lagi mau sendirian, Tan." Aku melangkah ke luar.

"Tunggu, By." Jovita menyusul.

Kriet!

Aku terbelalak saat membuka pintu dan melihat Ellea sedang berdiri di hadapan. Kali ini wujudnya sangat menyeramkan. Wajahnya dipenuhi darah. "Eee-L," ucapku, terbata.

Ellea bergeming, lalu mengembangkan senyumnya. Tiba-tiba ada gambaran di mana aku sedang memeluk tubuhnya yang berdarah. Gambaran lain pun muncul, membuat kepala ini terasa pusing.

"Ada apa, By?" tegur Jovita. Aku menoleh padanya. "Ya ampun! Idung kamu berdarah!"

Kusentuh hidung. Ada darah menempel di jemariku. Saat kembali menoleh pada Ellea, ia sudah menghilang.

"Dokter!" teriak Jovita, seraya menahan tubuhku yang kehilangan keseimbangan.

"Jov, aku melihat Ellea," ucapku, sebelum pandangan ini redup.

BERSAMBUNG

ElleaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu