Dimensi Waktu

3.3K 499 19
                                    

"Kamu mau ke mana?" tanya Sekar, sembari menggenggam tanganku kencang.

"Saya mau menolong Kering!" balasku.

"Sudah terlambat! Seharusnya kamu tidak membawanya kembali ke rumah itu."

"Saya akan menyelamatkannya!" Kuhempas tangannya.

"Jangan bertindak bodoh!" Sekar menghalangi jalanku. "Apa ini?" Ia merebut surat di kantung baju.

"Surat untuk Tuan Ruben. Kembalikan!" balasku. Ia malah merobek surat itu. "Kenapa kamu merobeknya, Sekar?"

"Jangan berhubungan lagi dengan Belanda. Biarkan mereka berhadapan dengan Nippon."

"Di rumah itu tidak hanya ada orang Belanda! Ada bangsa kita juga!"

"Semua butuh pengorbanan, Mamat!"

"Kamu jahat, Sekar!"

Ia menarik tanganku. "Kenapa kamu berubah? Kemarin kamu setuju dengan rencana ini?"

"Saya tidak mau menumpahkan darah orang yang tak bersalah."

"Mereka itu penjajah, Mamat!"

"Tapi semua sudah berlalu."

"Mereka menguasai tempat ini. Menjadi tuan tanah di tempat ini. Mereka hanya menganggap kamu dan pribumi lainnya sebagai budak. Apa kamu tidak sadar?"

"Saya sadar, tapi Kering dan keluarganya tidak jahat, Sekar?"

"Apa kamu bilang, tidak jahat? Mereka sering mengancam kita dengan senapan. Jika kita tidak menurut, mereka tidak segan-segan menembak kita. Apa kamu lupa?"

"Saya tidak lupa. Tapi, sekarang saya hanya ingin menolong Kering!" Aku melangkah pergi.

"Jangan pergi ke sana, Mamat. Kamu akan terbunuh!" teriak Sekar. Namun, aku tak takut, terus melangkah menuju rumah.

Suara tembakan mulai terdengar. Kupercepat langkah, tapi ada seorang pria tua yang menghentikanku. "Untuk apa kamu ke sana?" tegurnya, seraya menarikku.

"Saya mau menyelamatkan mereka," sahutku.

"Menyelamatkan pakai apa? Mereka semua membawa senapan. Kalau kamu datang ke sana, maka akan mati konyol."

Benar juga, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa. Hanya bermodalkan tangan kosong dan keberanian saja tidak cukup. Jangan sampai baru melangkah mendekat sudah tewas tertembak.

"Sebaiknya sekarang kita bersembunyi," ajak Pria tua itu. Ia mengajakku ke sebuah tempat di dekat pantai, di sana sudah berkumpul banyak orang yang sebagian besar adalah pribumi.

__________

Daritadi aku hanya duduk di pojokan, tidak mengobrol. Karena tidak tau apa yang harus diobrolkan. Apalagi aku tidak mengenali mereka.

Setelah ada kabar kalau tentara Jepang sudah pergi. Aku bergegas pergi ke rumah. Beberapa orang sudah berkumpul di depan rumah. Di dekat pintu, terlihat dua pengawal Sussane tewas, tak jauh dari mereka ada beberapa mayat tentara Jepang.

Aku melangkah ke dalam rumah. Banyak darah berceceran di ruang tengah. Ada satu mayat tergeletak di sudut ruangan. Mayat seseorang yang tadi memasak bersamaku. Kemudian berjalan menuju kamar.

Kriet!

Kubuka pintu kayu itu, melihat Kering sudah tergeletak di dekat tempat tidur. Seketika itu tangisku pecah. Padahal aku sudah ada di dekatnya, tapi tak sanggup menyelamatkannya.

Beberapa mayat ditemukan tergeletak di dapur dan kamar mandi. Sementara mayat Susanne dibaringkan di atas tempat tidur, dengan pakaian yang sudah terkoyak-koyak. Aku tertunduk lesu, menyaksikan kekejaman ini. Kemudian melangkah ke luar.

ElleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang