36 Paksaan

3.9K 282 11
                                    


Selamat Membaca dan silahkan berkomentar


Alicia kebingungan melihat wajah sang kekasih yang hanya murung tanpa banyak bicara, berbanding terbalik dengan sikap biasanya. Gadis itu menepuk pundak Nando, mengejutkannya lalu duduk di samping.

"Lagi ada masalah?" tanya Alicia lembut.

Nando menggeleng, dia malu untuk bercerita terlebih jika perihal perselingkuhan Agung dan Meta. Hal itu tidak dibenarkan, lebih tepatnya terkesan aib keluarga dan mungkin Alicia tak bisa menerimanya.

"Aku tahu kamu, Kak. Jadi, ada apa? Jika ada masalah tolong ceritakan, mungkin aku tak bisa membantu, tetapi menjadi teman curhat itu tidaklah buruk." Alicia menggenggam tangan Nando, ingin membuktikan jika semua akan baik-baik saja.

"Kamu enggak masalah nikah denganku jika aku miskin nanti?"

Kening Alicia berlipat, lalu menggeleng. "Bahkan jika Kak Nando tak punya rumah pun aku siap."

"Kamu yakin?"

"Meragukan cintaku, Kak?" Bibir Alicia mengerucut sebal, menimbulkan tawa dari Nando saking merasa gemas.

"Aku percaya kamu, Alicia. Em ... keluargaku sedang tidak baik-baik saja." Nando membuang muka ke depan, memerhatikan bangunan pencakar langit yang memang identik dengan kehidupan ibukota.

Alicia tidak ingin memotong, membiarkan mulut Nando mengulas semua lalu dirinya akan menjadi pendengar.

"Papa selingkuh dengan Mbak Meta yang merupakan sahabatnya Kak Nindia." Lalu mengalirlah semua alur cerita dari Nando, sementara Alicia terkejut dan tidak menyangka dengan masalah keluarga kekasihnya.

"Aku pergi dari rumah karena tak setuju dengan keinginan Papa untuk menikahi wanita itu."

"Terus sekarang Kak Nando tinggal di mana?" Raut wajah cemas, tampak jelas terpancar.

Nando tersenyum. "Di rumah Mbak Nindia. Aku udah enggak punya apa-apa lagi, kecuali Mbak Nindia dan Naima serta studio fotoku."

Alicia paham dengan ketakutan Nando, mungkin mengira kalau dirinya akan meninggalkan pria itu, di saat sang kekasih tak punya apa-apa. Jelas saja itu bukanlah seorang Alicia. Hidup susah dan berkecukupan sudah dilatih sejak masih kecil. Jadi, jika hal itu terjadi pada hubungannya dengan Nando, ikhlas hati dan setia menjadi pilihan Alicia.

"Aku enggak akan ke mana-mana, Kak. Aku sayangnya sama Kak Nando, bukan sama harta Kakak. Lagi pula kita bisa berjuang sama-sama dari awal," ucap Alicia menenangkan.

"Lalu apa Om Agung akan benar-benar menikahi wanita itu?"

Mengedikkan bahu, Nando tak tahu jawabannya. Namun, melihat Agung yang tak menahan kepergiannya, sudah menunjukkan jika pernikahan itu pasti akan segera terjadi. Dia tak bisa membayangkan bagaimana nanti Meta menguasai papanya.

"Aku tidak tahu, mungkin kami hanya akan siap mendengar kabar jika pernikahan itu sudah dilaksanakan."

*****

Langkah Agung terhenti saat melihat sosok Meta masuk ke rumahnya dalam kondisi yang jauh dari kata baik. Wanita itu menangis dan langsung memeluk dirinya erat, membuat pria itu tak punya kesempatan untuk menghindar. Bukannya apa, tetapi dia hanya merasa tak nyaman jika dilihat para pembantunya di rumah.

"Mas, aku dihajar Nindia," ucap Meta sambil terus menangis.

Agung membawa Meta ke kamarnya di lantai atas, lebih tepatnya ke kamar miliknya dengan mendiang Santi. Keduanya duduk di sofa, sementara Meta masih saja mengeluarkan air mata.

"Kamu ke mana aja, Mas? Kenapa kamu menghindar?" tanya Meta beruntun.

"Mas butuh waktu untuk beristirahat. Menghadapi kamu dan ketiganya, membuat mas bisa gila," balas Agung. Dia membatalkan niatnya ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatan. Kedatangan Meta ini pasti akan berakhir dengan keduanya di atas ranjang.

"Kamu tahu kenapa wajahku seperti ini?"

Agung mengusap bekas luka di sudut bibir selingkuhannya. Wanita itu meringis, saat rasa sakit itu masih ada.

"Ini karena Nindia. Dia datang bersama Erland dan Nando, mereka menghina dan menginjak-injak harga diriku, Mas!" seru Meta yang masih menyimpan dendam.

Pria itu hanya diam, bingung harus melakukan apa. Sementara Meta semakin geram, melihat keterdiaman Agung yang sepertinya mulai lengah. "Kenapa diam, Mas? Kamu mau membela mereka?"

Sebuah ciuman langsung dihadiahi Agung agar suara Meta lebih pelan. Dia segera memeluk wanitanya itu agar menenangkannya. "Jangan berisik, Meta. Kamu mau apa sekarang?"

Meta menyeringai. "Percepat pernikahan kita! Kalau perlu dalam bulan ini!"

Agung melepas pelukannya cepat. Ditatapnya Meta yang langsung membuang muka. "Tak semudah itu."

"Kamu yang memperumitnya, Mas! Jika mereka tak merestui, ya, sudah! Pernikahan ini tetap terjadi! Lagi pula mereka sudah dewasa, bisa menentukan kehidupan mereka kelak, tanpa melibatkan kamu sebagai papanya! Buktinya ada di Nindia!" balas Meta kesal.

Wanita itu mengubah posisi duduk di atas pangkuan Agung. Tangannya memeluk leher pria itu dan mencium bibirnya. "Pikirkan baik-baik! Aku tidak mau selalu dihina ketiga anakmu itu."

"Kamu memilih menjadi istriku daripada memperbaiki hubungan persahabatan kalian?" tanya Agung.

Meta mengangguk mantap, tentu saja menjadi nyonya Agung lebih menarik daripada menjalin persahabatan dengan wanita yang dibencinya itu.

Agung memejamkan mata. Dia tidak bisa melepaskan Meta yang bisa memberikan kepuasan padanya. Benar juga kata wanita itu jika ketiga anaknya sudah dewasa, bisa menentukan hidup mereka masing-masing tanpa dirinya. Dia juga berhak bahagia, membutuhkan sosok yang akan menemani hingga tua nanti. Jadi, menikahi Meta tidaklah buruk juga.

"Kita menikah dua minggu lagi," pungkas Agung mantap.

"Dipercepat, hm?" Dengan nada sensual, Meta berbisik.

Agung mengangguk, mengangkat Meta dan meletakkan di ranjang miliknya dengan Santi. Hal terlarang yang sudah biasa terjadi akhirnya kembali terjadi di ruang pribadinya dengan sang mendiang Santi. Keduanya bahkan tidak tahu jika di depan pintu kamar Nindia dan Naima berdiri di sana, mendengar suara-suara menjijikkan yang penuh dosa memenuhi ruang kamar mendiang Santi.

Keduanya masih terpaku, dengan lelehan air mata tanpa henti. Kedatangan kakak beradik itu lantaran mendapat telepon dari salah satu pembantu yang mengatakan jika Agung sering mengeluh pusing. Rasa sayang mengalahkan kekecewaan keduanya, sehingga sepakat untuk mendatangi rumah itu lagi. Namun, luka yang ditorehkan Agung belum sepenuhnya sembuh kini kembali menganga lebar.

Nindia turun dari tangga diikuti Naima, di bawahnya Erland dan Reza terkejut melihat dua wanita yang dicintai dalam kondisi menangis.

"Kita tidak punya pilihan lain selain melepas Papa untuk Meta. Papa lebih memilih wanita itu, bahkan melakukan hal menjijikkan di kamarnya bersama Mama," ucap Naima di dalam pelukan Reza.

"Kita tidak punya hak lagi di rumah ini. Semua akan menjadi milik Meta, termasuk Papa yang dalam hitungan waktu akan menjadi sosok asing untuk kita. Rumah ini mungkin pernah memberikan cerita indah, tetapi pada akhirnya rumah ini menjadi luka pengkhianatan yang dilakukan Papa," balas Nindia sambil mengusap air mata.

"Kita pergi!" Erland membawa Nindia keluar diikuti Naima dan Reza. Jika Agung sudah memilih sebuah kesalahan, maka tak ada lagi kesempatan Nindia dan dua saudaranya membenarkan hal itu. Papanya kalah akan napsu semata dan lebih dikuasai iblis seperti Meta.

Muara RinduWhere stories live. Discover now