24 Damai Hati

3.4K 267 13
                                    


Selamat Membaca, silahkan vote dan berkomentar!!!!📍

Nando mendudukkan tubuhnya di atas kursi plastik yang berhadapan dengan meja. Ada beberapa macam jenis jajanan pasar yang diletakkan di atas meja, menjamu kedatangan pria itu. Di kursi lainnya ada seorang gadis berambut sebahu yang duduk sambil memangku laptop, menyelesaikan tugas akhir yang belakangan ini membuatnya tak bisa tidur nyenyak.

Gadis itu adalah Alicia Kurnia, gadis yang dipacari Nando belakangan ini. Gadis dari keluarga sederhana, gadis yatim, dan juga gadis yang bekerja part time sebagai pelayan kafe.

"Melamun terus, Kak?" Karena perbedaan usia yang cukup mencolok, dia memanggil Nando dengan embel-embel kakak.

Nando menanggapi dengan senyuman tipis. Pikirannya sedang kacau, terlebih sudah merasakan tak nyaman tinggal di rumah apalagi berhubungan dengan Agung yang makin berbeda setelah kepergian Santi.

"Mikirin Tante?" tanya Alicia lagi.

"Aku mau ke makam Mama, kamu mau ikut?"

Alice mengangguk. "Aku pamit sama Ibu dulu, Kak."

Nando mengamati Alice yang tengah menyimpan laptop sebelum beranjak masuk. Saat ini keduanya duduk di warung sederhana milik ibunya Alicia.

Sebelum ke makam, Nando sempat membeli kembang lalu keduanya melanjutkan perjalanan menuju makam. Tiba di sana, Nando langsung bersimpuh dan memeluk nisan bertuliskan nama Santi di sana. Dia menangis kembali, merindukan sosok Santi yang telah hilang dari dunia.

"Ma, apa kabar? Aku rindu, Mama. Maaf jika baru hari ini, aku datang dan membawa Alicia menemui, Mama."

Alicia tersenyum tipis, dia memang baru berpacaran dengan Nando dan belum pernah bertemu Santi langsung. Namun, dari cerita yang dikatakan Nando, dia bisa menyimpulkan jika wanita itu baik. Hal yang sama dengan dua saudara Nando lainnya.

"Halo, Tante," sapa Alicia. "Apa kabar? Semoga Tante selalu berbahagia di sana."

"Alicia, aku ingin mengajakmu ke jenjang hubungan yang lebih serius."

Tentu saja, Alicia terkejut. "Maksud kamu?"

Nando melipat bibir. "Aku mau kita menikah setelah kamu skripsi. Aku sadar kita baru bertemu dan baru menjalin kasih, tetapi keyakinan untuk menjadikan kamu istri itu sudah keputusan tepat. Kita bisa saling mengenal lebih jauh saat menikah nanti." Bukannya apa, Nando merasakan kehampaan di rumah setelah kepergian Santi, ditambah dua saudara perempuannya pun telah menikah. Dia butuh teman, sandaran bukan Agung yang mulai berubah padanya.

"A-aku takut Papa kamu enggak setuju sama kita," tukas Alicia. Dia sadar diri dengan latar belakang keluarganya yang jauh dari Nando.

"Tidak masalah untuk itu. Cukup yakin saja bahwa hubungan kita pasti direstui," ujar Nando mantap.

*****
Reza kebingungan dengan sikap Naima yang uring-uringan tak jelas. Lebih tepatnya setelah kematian Santi. Emosi wanita itu setiap harinya tidak stabil, sebentar marah, tertawa, bahkan menangis tanpa sebab.

Seperti saat ini, Naima mengurung diri dalam selimut dan menangis, lantaran Reza tak mau membawanya ke tempat kerja pria itu. Padahal tak biasanya Naima mau ikut, wanita itu pun sedang sibuk dengan pendaftaran S2.

"Naima," panggil Reza yang sudah rapi dengan kemeja miliknya.

Tidak ada jawaban, hanya tangisan yang terdengar. Dia paham jika menikahi wanita yang masih labil itu harus butuh kesabaran yang ekstra. Namun, sekarang Naima terlihat seperti anak kecil yang jujur membuatnya pening.

"Pergi kamu, Mas! Kamu udah berubah!" teriak Naima di balik selimut.

Reza mengusap wajahnya frustrasi. Di rumah miliknya ini hanya mereka berdua, karena Naima belum mencari asisten rumah tangga. Jadi, untuk semua urusan rumah menjadi tanggung jawab istrinya itu, walaupun Reza takut jika Naima akan kecapean.

"Sayang, mas udah telat, loh." Bersikap lembut, Reza berharap Naima mengizinkan dirinya pergi tanpa menangis.

"Kalau mau pergi, ya, pergi!"

Pria itu menghela napas gusar, keluar dari kamar sambil menutup pintu pelan. Dia harus berkonsultasi dengan salah satu rekannya, mengingat perubahan emosional Naima membuatnya curiga jika istrinya tengah hamil. Jika benar dia sangat bahagia sekaligus cemas, lantaran Naima masih sibuk dengan pendidikan S2 yang baru akan dimulainya.

*****

Tidak ada yang berbicara selama di mobil, Nindia diam memandang jalanan. Erland fokus dengan menyetir, hatinya tak karuan karena menunggu kepastian dari sang istri.

Pria itu menjemput sang istri dari klinik dan mengantar ke alamat yang diminta Nindia. Tiba di rumah milik wanitanya, Erland ikut turun berjalan di belakang Nindia dengan canggung.

"Kita bicara di kamar saja!"

Hanya mengangguk, langkah Erland mengekor di belakang. Dia tahu jika ini hunian yang dibeli Nindia dari hasil kerja keras selama dua tahun. Mungkin jika ada kesempatan, dia akan membelikan hunian baru untuk istri dan anak-anaknya kelak jika diizinkan.

Keduanya masuk ke kamar Nindia, yang tampak monoton. Hanya ada beberapa lukisan estetik di dinding, dan juga sebuah jam yang tergantung. Selebihnya hanya ada lemari, ranjang, balkon, dan sofa.

"Duduk, Mas!" titah Nindia mempersilahkan Erland duduk. Wanita itu sendiri duduk di tepi kasur sehingga keduanya berhadapan.

"Aku hanya mau bilang terima kasih sudah menemaniku selama pemakaman Mama," ucap Nindia tanpa ekspresi.

"Itu sudah sepantasnya mas bersikap seperti itu." Erland tersenyum canggung. "Mungkin itu bentuk perhatian mas yang terakhir sebelum harus melepas kamu selamanya."

Tertegun, Nindia menatap Erland yang juga menatapnya. Ada kobaran luka di balik mata sang suami, tatapan sendu membuat Nindia tak tega.

"Mas mau mengakhiri?" Nindia tercekat.

"Jika itu membuatmu bahagia, mas bisa apa."

"Apa Mas tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?"

"Kamu mau membahas perceraian itu, 'kan?"

Nindia melipat bibir, lalu tersenyum tipis. Rupanya Erland salah paham sehingga bersikap seperti ini. Dia mendekat duduk di samping Erland dan memeluk pria itu dari samping. Tentunya Erland terkejut dan bingung.

"Aku memaafkan semuanya, Mas. Aku sadar jika sepenuhnya bukan salah kamu, Mas. Aku percaya ucapan Mama jika kamu adalah yang terbaik untukku, karena pilihan dan nasehat Mama selama ini enggak pernah salah," terang Nindia.

Perasaan Erland tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Pria itu melepas pelukan, menangkup pipi sang istri tak percaya.

Nindia mengangguk, air matanya jatuh. "Ada satu kesempatan untuk, Mas dan kita untuk memperbaiki semuanya. Aku tidak peduli jika hubungan kita ditentang Papa saat ini, Mas."

"Sayang," lirih Erland ikut menangis. "Mas mau bilang terima kasih, Sayang dan maaf untuk segalanya."

Keduanya berpelukan erat, Nindia siap menerima konsekuensi yang diambilnya dari keputusan ini. Mencintai memang harus ada resikonya yakni terluka. Wanita itu tersenyum di balik tangis bahagia, saat kecupan ringan diberikan Erland tanpa henti.

"Ma janji akan memperbaiki semua yang telah rusak di awal pernikahan kita, Sayang."

Nindia mengangguk, tetapi masih ada satu beban yang disimpannya dan Erland harus tahu perihal itu. "Mas."

"Iya, Sayang."

"Aku menerima kamu, tetapi bukan dengan anak itu," ucap Nindia melunturkan senyum Erland.

Muara RinduOn viuen les histories. Descobreix ara