BM -28-

4.1K 705 101
                                    

Jangankan orang lain, Jemian sendiri pun sadar dengan sangat akhir-akhir ini bahwa dirinya memang sedikit berubah. Menjadi lebih diam dan sering melamun.

Pasalnya Jemian sering merasa kesepian akhir-akhir ini. Padahal dahulu rasanya tak pernah begini. Semua masih sama.

Papa masih sama seperti Papanya yang dulu. Masih tersenyum lebar setiap kali berbicara dengannya. Masih menatapnya dengan tatapan memuja yang sama.

Namun entah mengapa Jemian selalu bisa merasakan kesedihan dalam bola mata Papa. Kesedihan dan kesepian itu terasa menembus hatinya yang keras.

Menatap Papa yang selalu mencoba membuatnya tertawa akhir-akhir ini meski dirinya sendirilah yang tampak lebih membutuhkannya, selalu berhasil membuat Jemian merenung.

Ini sudah satu Minggu sejak kejadian di kantor waktu itu. Jemian belum diperbolehkan ke sekolah karena cederanya. Membuatnya lebih leluasa untuk melamun.

Suara jam berdenting di kamarnya membuat Jemian merasa semakin tertarik masuk ke dalam angan-angannya. Memikirkan apakah yang dia lakukan selama ini benar atau tidak.

Bohong sekali jika Jemian mengatakan dirinya tak bahagia menghabiskan waktunya tiga bulan ini. Dia merasa lengkap.

Bohong sekali jika Jemian mengatakan dirinya baik-baik saja setelah merasa begitu bahagia tiga bulan ini. Dia merasa kecewa.

Rasanya benar-benar menyebalkan saat hati terasa bimbang dan tak tau mana yang benar dan salah untuk dilakukan.

Jemian hanya takut menyesal di kemudian hari. Jemian tidak ingin langkahnya memberi penyesalan dan kesedihan di kemudian hari.

Jemian tidak ingin hidupnya yang damai tiba-tiba berubah hanya karena langkah kecilnya.

Membayangkan dirinya memiliki ibu tiri membuat sisi lain dalam hatinya merasa gentar.

Papa bukan lagi miliknya. Mama bukan lagi satu-satunya. Dan Jemian bukan prioritas lagi.

Pikiran-pikiran semacam itu membuat Jemian ketakutan.

Bagaimana jika ternyata hidupnya malah berubah menjadi dongeng Cinderella yang malang. Jemian akan menderita selamanya.

Iya, Jemian memang sepengecut itu. Walaupun terlihat seperti anak yang tak peduli sekitar nyatanya Jemian adalah seorang pemikir ulung. Seringkali membesar-besarkan masalah dalam kepalanya. Imbasnya ya begini.

"Ngapain gue pikirin coba. Gak penting" katanya tapi saat menatap helm sepeda di atas nakas dirinya terdiam. Mengingat semangatnya Jani memberikan benda itu untuknya.

Dia kemudian mengalihkan pandangan dan tanpa sengaja malah menatap cermin di sudut kamarnya. Tersadar bahwa sedari kemarin menggunakan jaket yang sama terus-menerus. Jaket pemberian Mahendra.

Dia berkedip.

"Kebetulan" katanya kemudian turun ke lantai bawah saat haus melanda dirinya. Masih menyangkal perasaan rindu dalam hatinya.

Biasanya jika Jemian sedang malas ada Mahen yang dengan senang hati mengambilkannya minuman. Atau dia harus memenangkan suit dulu agar Jani mau bangkit dan mengalah turun ke dapur.

Jemian tersentak, buru-buru menggeleng pelan. Kenapa malah teringat mereka lagi??!

Dia memukul kepalanya pelan dan mengambil gelas. Membuka kulkas untuk mengambil air dingin tapi malah termenung saat melihat bagian freezer kulkas penuh dengan kiko miliknya dan Jani.

Lalu tiba-tiba suara dalam kepalanya terasa menggema sampai ke telinganya.

"Iya, Iyan juga boleh panggil Tante pakai bunda kayak mereka"

Bad Mad ✓Where stories live. Discover now