Di luar rumah, sudah disambut oleh tentara Belanda. Seorang Pria berperawakan tinggi besar dan rambut pirang berjalan mendekat. Ia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.

Kali ini aku terpaksa harus berkata jujur. Kalau semua yang terjadi karena ulah Sekar. Ia yang melaporkan pada tentara Jepang.

Seorang tentara Belanda berdiri di belakang dan mengikat tanganku. Lalu. Ia memintaku untuk duduk di teras, tak boleh bergerak.

Berkali-kali aku menundukan kepala, karena tak kuat melihat mayat yang diseret ke luar rumah. Mayat-mayat itu sengaja ditumpuk di halaman depan. Kecuali, mayat Kering dan Susanne yang dibaringkan di teras, di sampingku.

Tak lama kemudian, seorang pria Belanda datang. Ia menangis kencang saat melihat keadaan Kering dan Susanne. Sepertinya ia adalah Papa — ayah dari Kering dan Susanne. Ia marah besar padaku karena tak bisa menjaga kedua anaknya.

"Bagaimana kamu bisa selamat, Mamat?" tanyanya.

"Susanne meminta saya untuk mengantarkan surat pada Tuan Ruben."

"Apa itu benar?" Ia menatap seseorang yang berdiri di dekatnya.

"Tidak," balasnya. Sudah bisa dipastikan kalau ia adalah Tuan Ruben.

"Apa kamu berbohong?" tanya Papa. Di saat bersamaan, salah satu tentara Belanda sudah menodongkan pistol.

"Saya tidak berbohong, Tuan. Saya memang berniat mengantarkan surat, tapi tentara Jepang sudah lebih dulu datang. Jadi saya bersembunyi," jelasku.

"Kalau begitu, mana suratnya?"

"Terjatuh, saat saya melarikan diri ke pantai."

"Bawa dia ke belakang!" perintahnya.

Dua orang tentara Belanda membawaku ke hutan belakang, dalam keadaan tangan masih terikat. Kemudian mereka memintaku untuk berlutut dan menundukan kepala. Perasaan ini sudah tidak enak. Apakah mereka akan menembakku dari belakang?

Cukup lama aku berlutut di sini, tapi tak terjadi apa-apa. Sampai ... terdengar suara wanita berteriak. Spontan aku mengangkat kepala, melihat Sekar sedang diseret ke arahku.

"Mamat berbohong, Tuan!" teriak Sekar.

Tentara yang berdiri di belakang memintaku untuk kembali menundukan kepala. Kini aku hanya bisa mendengar suara jeritan Sekar. Meski sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sesuai dengan apa yang dikatakan Ellea. Setelah disiksa, tubuh Sekar digantung tepat di pohon, di hadapanku.

Seorang tentara menjambak rambutku dari belakang. Hingga kepalaku menengadah. Ia seperti memaksaku untuk menyaksikan kematian Sekar.

Setelah tubuh Sekar tak bergerak. Papa berdiri di depanku. Ia menatapku dengan wajah merah padam. Kemudian mengacungkan pistol ke kepalaku.

DUAR!

Aku bisa merasakan sakit yang teramat sangat saat timah panas itu menembus kepala ini. Tubuh ini langsung roboh, tak lama kemudian pandangan berubah menjadi gelap.

___________

Aku terbangun, dengan kepala pusing sekali. Kemudian bangkit dan duduk di ujung tempat tidur. Baru kali ini merasakan mimpi yang sangat nyata.

Tok! Tok!

"Kak Al," panggil Ellea.

"Masuk," sahutku.

"Pintunya dikunci!"

Aku lupa kalau pintunya masih dikunci. Kemudian, bangkit dan membuka pintu. "Kenapa wajah kakak begitu?" tanyanya.

"Kepala kakak pusing, El." Aku duduk di tempat tidur.

"Apa kakak habis bermimpi sesuatu?" Ellea menatap wajahku.

"Iya. Mimpi yang aneh."

"Mimpi apa?"

Aku menceritakan mimpi tadi. "Itu bukan mimpi, Kak," komentar Ellea. "Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya."

"Memang itu apa, El?"

"Tempat yang seharusnya tidak dimasuki oleh manusia."

"Maksud kamu?" Aku benar-benar tak mengerti ucapannya.

"Itu adalah dimensi waktu, Kak."

"Dimensi waktu?"

"Dimensi dimana kakak bisa kembali ke masa lalu. Kakak bisa menjadi bagian dari masa lalu, tapi tidak bisa mengubahnya."

Benar, padahal aku sudah mencoba menyelamatkan Kering, tapi tidak berhasil. "Lalu apa gunanya Susanne mengajak kakak ke sana? Jika kakak tidak bisa mengubahnya?"

"Dia hanya ingin kakak merasakan apa yang dia rasakan. Sakit bukan?"

"Sakit banget, El."

Ellea tersenyum. "Kakak hebat bisa pergi ke sana."

"Tepatnya diajak pergi ke sana, El."

"Iya."

"Apa kamu pernah pergi ke sana juga?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Karena aku sudah menjadi bagian dari masa lalu, Kak."

BERSAMBUNG

ElleaWhere stories live. Discover now