1 Buket Tanpa Nama

17.5K 1.3K 26
                                    


Selamat Membaca, jika kalian suka hadirlah terus hingga bab akhir dari kisah Muara Rindu ini~~

Keramaian tampak terlihat dari sebuah bangunan minimalis berlantai dua dengan nuansa serba pink di seberang jalan. Deretan karangan bunga berisi ucapan selamat pun memenuhi halaman hingga bahu jalan. Begitu juga dengan kendaraan roda dua maupun empat yang menguasai sekelilingnya sehingga kemacetan pun sempat terjadi, sebelum beberapa pengunjung mulai berpamitan pergi.

Nindia Beauty, tulisan yang tertera di bagian atas bangunan tersebut. Sebuah klinik kecantikan yang baru saja dibuka sebagai cabang baru dari Nindia Beauty pusat yang letaknya di daerah Tangerang. Setelah peresmian dengan menggunting pita oleh sang pemilik, klinik itu tampak semakin ramai dengan kedatangan sahabat, kenalan maupun para pengunjung yang ingin menikmati fasilitas gratis di hari pertamanya buka.

"Congrats, Beb. Aku bangga banget sama kamu." Seorang wanita dengan blouse hitam dan bawahan kulot tampak berujar tulis kepada sang pemilik di sampingnya.

"Ini semua bukan apa-apa, jika tanpa dukungan kamu dan yang lainnya," sahut sang pemilik.

"Tapi Nindia, aku rasa kerja kerasmu lebih dominan dibandingkan dukungan dari kami," balas Meta Aditianingsih tak mau kalah.

Wanita berperawakan tinggi bak model atau yang dikenal dengan Nindia itu hanya tersenyum tipis. Menurutnya, semua yang terjadi selama dua tahun belakangan ini tidak lepas dari doa dan dukungan orang-orang terdekatnya.

"Pokoknya kamu adalah wanita hebat yang pernah aku kenal," ujar Meta yang berprofesi sebagai pegawai kantoran itu.

Nindia hanya tertawa kecil, memilih memindai sekeliling kliniknya yang terus padat meskipun hari telah menjelang sore. Wanita dengan rambut seleher itu, bersyukur harapan dan impian untuk memiliki usaha sendiri bisa terwujud sekarang. Penuh pengorbanan sehingga bisa sampai ke titik ini.

"Mbak Nindia, ada titipan." Seorang pegawainya yang bername tag Serly datang menghampiri. Wanita berkacamata itu menyerahkan sebuah buket bunga lili kepada Nindia.

"Thank you, tapi ini dari siapa?" tanya Nindia penasaran. Wanita itu mencari nama pengirim, tapi sama sekali tak menemukan. Meta yang penasaran pun ikut melirik, sama halnya tak menemukan secarik kertas di sana.

Serly menggeleng. "Saya kurang tahu, Mbak. Tadi saat saya ke depan, seorang kurir ngasih ke saya katanya buat pemilik klinik."

Nindia terdiam, terus mengamati bucket bunga yang menjadi kesukaannya itu. Nindia adalah seorang penyuka bunga lili sejak kecil hingga usianya menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Ada alasan tertentu yang membuat wanita itu menyukai kembang tersebut.

"Sepertinya buket tanpa nama itu selalu hadir saat opening klinik kamu, Nin. Apa kamu enggak sadar?" tanya Metha penasaran.

Jika tidak diingatkan Meta, mungkin Nindia tidak pernah sadar jika ucapan sahabatnya itu merupakan kebenaran. Selama lima kali pembukaan cabang Nindia Beauty, dia selalu mendapatkan buket bunga lili tanpa pengirim seperti sekarang ini. Entah dari siapa, yang jelas Nindia meyakini orang itu adalah sosok yang dekat dan tahu tentangnya.

"Kamu boleh kembali bekerja," pintanya kepada Serly.

"Kita bicara di ruanganku saja." Nindia berlalu diikuti Meta menuju lantai dua, di mana ruang kerja Nindia berada.

Duduk berhadapan di sofa, Nindia meletakkan buket bunga ke atas meja sebelum memijit pangkal hidungnya.

"Secret Admirer, ya," ejek Meta terkekeh.

"Bukan saatnya bercanda, Meta. Ini bukanlah kebetulan menurutku." Tampang wajah cantik itu terlihat sayu, lebih tepatnya lelah dan tak bersemangat.

"Menurut kamu siapa? Apa keluargamu?"

"Papa sama Mama enggak akan ngirim bunga tanpa memberitahu sebelumnya," sanggah Nindia tak setuju.

"Maybe ... keluarga yang lain? Tante Asti?"

"No. Tante Asti ada di Medan sekarang bersama suaminya," sahut Nindia menyebut adik  perempuan Tungga dari sang papa.

"Em ... Opa Gardan?"

Nindia tersenyum tipis. "Opa udah ngirim ucapan selamat semalam, jadi bukan dia orangnya."

Meta mendengkus. "Terus siapa, dong? Kecuali ...."

Nindia menaikkan alis, menunggu Meta melanjutkan ucapannya. Namun, sahabatnya itu tampak ragu sebelum menggeleng.

"Kecuali apa? Kenapa enggak diteruskan?"

"Kalau yang ngirim itu dari si dia, gimana?" Meta berujar pelan.

Nindia bungkam, tahu ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu. "Mustahil, kalau dia."

"Sorry, aku enggak bermaksud ...." Melihat wajah muram Nindia, wanita itu merasa bersalah.

"Enggak masalah. Aku udah enggak peduli." Nindia beranjak ke sudut ruangan, membuka kulkas dan mengambil minum. Rasanya dia butuh sesuatu yang dingin untuk menyegarkan tenggorokannya sekarang.

"Habis ini mau langsung pulang?" tanya Meta setelah keheningan meliputi.

"Aku masih harus ngambil kain pesanan Mama untuk pernikahan Naima nanti."

"Jadi, resepsinya tetap di hotel?" 

Nindia mengangguk. "Sesuai request Naima, Met. Aku enggak mau ngecewain dream weddingnya adikku itu."

Naima Lestari adalah adik bungsu Nindia yang akan menikah dua minggu lagi. Wanita pemilik klinik itu terlahir sebagai sulung dari tiga bersaudara. Adik keduanya Nando, yang saat ini masih menjadi pria lajang dengan profesinya sebagai seorang fotografer.

"Jangan lupa undangannya, Nin. Aku mau datang sekaligus menebus rasa penasaran sama calon suaminya Naima."

"Namanya Reza, seorang dokter umum di rumah sakit kota," ujar Nindia beritahu.

"Naima yakin mau nikah sama cowok itu? Bukannya mereka kenalannya baru sebulan ini?" tanya Meta bingung.

Nindia menghela napas panjang. "Naima cinta sama Reza."

"Cinta? Cinta sesingkat itu dan memutuskan nikah." Meta hanya bisa geleng kepala, menurutnya terlalu singkat untuk menuju ke jenjang lebih serius dengan dalih cinta.

"Jalinan pacaran dalam kurun waktu yang lama lalu memutuskan menikah pun tidak menjamin hubungannya akan awet," lanjut Nindia membuat Meta bungkam.

Wanita itu menatap Nindia saksama, sepertinya dia salah bicara sekarang. Terlebih melihat wajah sahabatnya langsung berubah datar. Kalimat yang diucapkannya tadi termasuk sensitif bagi seorang Nindia Kharisma Putri.

"Maafkan aku, Nin, seharusnya enggak membahas hal seperti tadi."

Nindia hanya tersenyum, membuka tablet untuk mulai bekerja. Entah sejak kapan menekuri pekerjaan adalah hal paling menenangkan bagi Nindia. Pikirannya tidak akan bercabang-cabang, hanya fokus pada usaha kecantikan yang lebih penting. Selain dari itu, Nindia tidak ingin memikirkan lebih termasuk urusan asmara yang menurutnya sangat-sangat tidak penting.

Meta mengamati wajah serius Nindia dalam bekerja. Sejak kecil menjalin pertemanan hingga selalu memutuskan sekolah dan kuliah di tempat yang sama, membuat Meta paham bagaimana sikap sahabatnya itu. Bagaimana kisah hidup seorang Nindia yang penuh tangis, dan luka.

"Nindia," panggil Meta pelan.

"Seandainya ... dia kembali, apa yang akan kamu lakukan?"

Pergerakan Nindia terhenti. Wanita dengan dress peach tanpa lengan itu terdiam sejenak,  sebelum tersenyum sinis. Sebuah ekspresi yang Meta yakini sebagai bentuk balasan dari rasa sakitnya.

"Memangnya apa yang harus kulakukan? Memujanya seperti dulu, seperti seorang dewa? Tentu saja itu tidak akan pernah terjadi!"

Meta meneguk ludahnya susah payah. Itu adalah jawaban Nindia jika berkaitan dengan orang yang telah menyakiti hatinya dua tahun lalu. Meninggalkanku luka yang entah sudah sepenuhnya sembuh atau belum. Namun, yang jelas Meta yakin ada secuil rasa terselubung dan masih tertutup rapat di bagian hati Nindia yang lainnya.

📍Jika membaca telah diberikan secara gratis, apakah tak ada sedikitpun niat kalian hanya sekadar untuk memberi vote atau memenuhi kolom komentar dengan catatan untuk sang author?

Muara RinduWhere stories live. Discover now