"Kering, kenapa kita tidak bermain di pantai saja?" ajakku.

"Susanne tidak suka saya bermain di sana," sahutnya, sibuk dengan mainan.

"Kalau bermain di hutan?"

Kering menggelengkan kepala. Susah sekali membujuknya untuk pergi. Sementara itu waktu terus berlalu. Aku tak tau kapan tentara Jepang itu datang.

Aku duduk di lantai, dekat dengan tempat tidur. Menatap Kering yang sedang asik bermain. "Ada apa Mamat? Kenapa hari ini kamu lebih banyak diam?" tanyanya.

"Tidak ada apa-apa," balasku.

"Ayo main!"

Kering menaruh semua mainannya di lantai, dekat denganku. Lalu ia memintaku memegang salah satunya — mainan tentara.

Swing! Der!

"Kamu harusnya sudah mati, Mamat," ucapnya.

"Mati?" tanyaku.

"Iya, barusan saya menembakmu!" Kering merebut mainan di tanganku, lalu meletakannya di lantai. "Mati!"

Oh, maksudnya mainanku yang mati. "Ayo main lagi!" Kini aku tidak akan membiarkannya menang.

Kering menembak menggunakan mainannya. Spontan aku menghindar, dengan mengangkat mainannya setinggi mungkin.

"Kamu curang, Mamat!" protesnya.

"Kenapa?"

"Tidak ada tentara yang bisa terbang!"

Aku terkekeh, ternyata ia cukup pintar. "Apa yang kamu lakukan jika ada orang yang akan menembakmu?"

"Saya akan menembaknya terlebih dulu."

"Bagaimana kalau kamu tidak memiliki senjata?"

Kering terdiam sejenak. "Saya akan bersembunyi."

"Di mana?"

Ia mengedarkan pandangan, "Di kolong tempat tidur!"

"Itu tempat yang mudah ditemukan."

"Lalu saya harus bersembunyi di mana?"

"Sebaiknya kamu kabur dari rumah ini. Kemudian berlari sekencang mungkin. Jangan berlari lurus, karena orang itu akan dengan mudah menembakmu."

"Baiklah."

_________

"Mamat!" Susanne memanggil dari ruang tengah.

"Ya, Non!" Bergegas aku menghampirinya. Di sampingnya sudah ada dua penjaga, lengkap dengan senapannya. Aku menelan ludah melihat wajah mereka yang garang. Sambil bertanya-tanya dalam hati. Ada apa lagi ini?

"Sekar tidak ada di belakang dan pantai. Ke mana perginya?" tanya Susanne.

"Saya tidak tau, Non."

"Jangan bohong!" hardik salah satu penjaga, sembaru mengacungkan senapan.

"Saya tidak berbohong."

"Kalian hanya bertiga di rumah. Bagaimana mungkin kamu tidak tau ke mana perginya Sekar."

"Saya benar-benar tidak tau. Terakhir kali dia hanya bilang ke belakang. Itu saja."

"Iya, Susanne. Aku juga mendengarnya." Kering datang membelaku.

"Baiklah. Nanti akan saya melaporkannya pada Papa. Biar Papa memberi hukuman."

Kering mengajakku kembali ke kamar. Namun, Susanne malam menghentikan langkahku. "Tolong antar surat ini untuk Tuan Ruben," perintahnya.

"Tuan Ruben?" sahutku, pelan.

"Iya, cepat antarkan sekarang!"

"Baik, Non."

Aku melangkah ke luar, meski tak tau di mana letak kediaman Tuan Ruben. Kucoba menanyakan pada warga sekitar, yang ada malah ditertawakan. "Mat, Mat. Masa kamu tidak tau rumah Tuan Ruben!" Begitulah jawabannya. Padahal aku benar-benar tidak tau.

"Mau ke mana, Mat?" sapa Seseorang yang memotong rumput.

"Ke Rumah Tuan Ruben."

Ia malah tertawa. "Rumah Tuan Ruben di ujung jalan sana! Kenapa kamu malah ke sini?" Ia menunjuk arah berlawanan.

"Ya Ampun, saya lupa," sahutku.

"Jangan terlalu banyak melamuni Sekar, Mat."

Aku hanya membalasnya dengan senyuman canggung. Sekar? Siapa juga yang memikirkannya. Bergegas aku berbalik arah, menuju ujung jalan yang lain.

Baru berjalan beberapa langkah. Tiba-tiba terdengar suara keributan di belakangku.

NIPPON!
NIPPON!

Aku menoleh, melihat ada mobil tentara Jepang. Spontan aku berlari ke pinggir jalan. Menatap mobil yang melaju kencang ke arah rumah.

"Kering!" gumamku, seraya berlari ke arah rumah. Namun, tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Kutatap wajahnya, "Sekar."

BERSAMBUNG

ElleaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora