Kembali ke Masa Lalu

Mulai dari awal
                                    

"Siapa kamu?" Aku berteriak sambil menutup mata.

"Susanne. Orang yang kamu tertawakan," balasnya, lirih. Sukses membuat bulu kudukku meremang.

"Maaf, saya tidak bermaksud menertawakanmu."

"Kamu tidak sopan."

"Sekali lagi saya mohon maaf."

"Meminta maaf tapi tidak menatap saya secara langsung. Sangat tidak sopan!"

Aku membuka mata perlahan, melirik ke tempat ia berdiri. Tak ada!

"Saya di sini!"

Spontan aku melihat ke atas. Susanne sedang merayap di langit-langit, kemudian melompat ke arahku. "EL!" Aku berteriak kencang. Namun, Susanne sudah lebih dulu mendarat di tubuhku.

Heu!

Aku merasa ada benturan yang cukup keras. Seketika itu semuanya menjadi gelap gulita. Namun, aku masih bisa merasakan tubuh ini seperti terjun bebas.

Bruk!

Aku membuka mata. Melihat langit cerah berwarna biru. Kuedarkan pandangan. Ada hamparan pasir dan ombak. Kenapa mirip sekali dengan ....

"Mamat!" Ada suara anak kecil di belakangku. Spontan aku menoleh. Kering? Ya, wajahnya mirip sekali dengan Kering.

"Mamat. Kenapa kamu berbaring di pasir?"

Suara dan logatnya sangat khas. Lucu, melihat anak Belanda bisa berbahasa Indonesia. Namun, siapa Mamat? Kembali kuedarkan pandangan mencari keberadaannya. Tak ada orang lain di pantai.

"Siapa Mamat?" tanyaku.

"Kamu Mamat!" balasnya.

Aku mengerutkan dahi, "Namaku Alby."

"Kamu Mamat!" Ia menarik tanganku. "Ayo, pulang! Nanti Susanne marah."

Aku berdiri, meski bingung dengan situasi yang aneh ini. Mamat? Kering? Susanne? Jangan bilang, aku kembali ke masa lalu lagi.

Ah tidak!

Bangun, Al! Bangun!

Kucoba membangunkan diri, tapi tak bisa. "El, tolong kakak!" Aku berteriak kencang.

"Siapa, El? Dan untuk apa kamu meminta tolong?" tanya Kering.

"El itu adikku!"

"Kamu tidak punya adik, Mamat! Ayo pulang! Sebelum Susanne datang ke sini dan menyeretmu karena sudah mengajakku ke pantai." Kering menarik tanganku menuju hutan.

El, tolong kakak!

Aku terus mengucapkan kata itu dalam hati. Tak mau lagi melihat kejadian mengerikan yang menimpa Kering untuk kedua kalinya.

Kami melangkah menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Hutan yang sama. Begitu pula dengan pepohonannya. Yang membedakan adalah, suasananya masih normal. Tidak mencekam.

Kami tiba di depan rumah. Seorang wanita berwajah pribumi ke luar menyambut kedatangan kami. Wajahnya terlihat tidak begitu senang.

Ia tersenyum pada Kering, lalu memintanya masuk ke dalam. Setelah itu, menghalangi jalanku saat akan masuk ke dalam. "Ada apa?" tanyaku, bingung.

"Kenapa kamu membawanya pulang!" omel Wanita itu.

"Dia memaksa untuk pulang."

"Seharusnya kamu cegah! Dasar bodoh!"

"Apa katamu? Siapa yang bodoh?" Aku meninggikan suara. Meski ini bukan tubuhku, tapi sangat kesal mendengar ucapannya itu.

"Ya kamu bodoh! Sudahlah! Sebaiknya kamu mati bersama mereka!"  Wanita itu pergi, berlari ke belakang rumah. Sementara aku masih mencerna ucapannya.

'Mati bersama mereka'

Apa jangan-jangan ... hari ini peristiwa pembantaian itu terjadi? Bergegas aku masuk ke dalam, kemudian mengajak Kering pergi ke pantai.

"Susanne sebentar lagi datang! Saya tidak mau kena omelannya." Kering menolak ajakanku.

Kini aku berburu dengan waktu. Bila tidak cepat ke luar dari rumah ini. Kami pasti akan mati. Terpaksa aku mengangkat tubuh mungilnya itu, lalu membawanya ke luar.

"Lepaskan! Mamat!" Ia berontak. "Nanti saya laporkan pada Papa!"

Aku tak memperdulikan rengekannya. Terus mengotongnya hingga depan rumah. Namun langkahku terhenti, saat melihat ada wanita Belanda berambut pirang, berdiri di luar pagar. Ia ditemani oleh beberapa pengawal dan orang pribumi. Susanne!

"Apa yang sedang kamu lakukan, Mamat?" tanyanya.

"Susanne! Tolong! Mamat ingin membawaku pergi!" ucap Kering. Spontan aku menurunkannya.

"Jawab Mamat!" Salah satu pengawal itu sudah menodongkan senjata padaku.

Kini aku terjebak dalam situasi yang sulit. Antara mati di tangan pengawal ini atau ... mati di tangan tentara Jepang?

BERSAMBUNG

ElleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang