Bagian 17

13 5 0
                                    

Hidupku benar-benar berubah, pengalamanku juga jadi bertambah. Sejauh ini aku menikmati peranku sebagai Alura di novel yang berjudul Black City ini.

Hanya di dunia ini aku mempunyai seorang kakak laki-laki dan seorang ayah yang sangat baik dan perhatian. Mereka benar-benar menyayangiku, seakan-akan aku sangat berhaga bagi mereka.

Hal itu berbeda sekali dengan di dunia nyata. Di sana aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari mereka, yang aku dapatkan hanyalah sebuah tekanan yang terkadang bisa membuatku stress. Bahkan terkadang, aku selalu memikirkan cara untuk mengakhiri hidup.

Dunia novel ini memang cukup kejam bagi Alura, karena dia terkena diskriminasi. Tetapi itu bukanlah masalah bagiku, setidaknya aku masih mempunyai orang yang sangat menyayangiku, dan mereka selalu melindungiku. Berbeda dengan di dunia nyata, aku selalu dianggap rendahan, aku ditatap seperti tidak berguna oleh banyak orang, aku juga dianggap sebagai beban. Di dunia nyata aku mendapatkan banyak tekanan, entah itu dari keluarga atau lingkungan sosial.

Di dunia nyata aku jarang bersosialisasi, aku terlalu takut dengan pandangan orang-orang. Aku selalu merasa menjadi manusia paling tidak berguna. Kakak dan ayahku tidak terlalu menyayangiku, meskipun ibu lebih perhatian dan pengertian, namun terkadang ibu juga selalu memberikanku tekanan yang cukup dalam tanpa dia sadari.

Sejujurnya, di dunia nyata aku tidak terlalu menikmati kehidupan. Terutama di dalam lingkungan keluarga, aku merasa asing dengan mereka, terkadang mereka seolah  menggapku tidak ada.

Aku juga kurang menikmati lingkungan luar. Terlalu banyak orang-orang yang membuatku tidak nyaman.

Itulah mengapa, aku merasa lebih baik ketika aku sedang sendirian. Aku merasa lebih nyaman di kamar, ditemani dengan buku-buku bacaan dan berbagai tontonan.

Aku jarang sekali bertemu dengan teman-teman semenjak aku lulus dari sekolah menengah atas. Itu sudah berlalu selama 2 tahun, dan rasanya aku merasa takut untuk bertemu dengan mereka. Aku takut akan pandangan mereka kepadaku. Namun kenyataannya aku hanya khawatir, aku akan iri dengan pencapaian -pencapaian yang sudah mereka dapatkan. Sedangkan aku, aku merasa jika aku masih jalan di tempat. Aku seperti tertinggal sangat jauh dengan mereka, sehingga terkadang aku merasa tidak layak untuk bergabung.

Kisahku di dunia nyata sangat menyedihkan. Aku selalu memikirkan jika aku ingin mengakhiri semuanya. Karena aku tidak tahu tujuanku, aku merasa kosong, dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku selalu merasa jika usahaku sia-sia. Itulah yang membuatku lelah dan ingin mengakhirinya.

Aku sangat iri dengan mereka yang mempunyai nasib yang bagus. Kehidupan mereka seakan mempunyai keunggulan sedangkan aku tidak mempunyainya sama sekali.

Aku iri kepada temanku yang mempunyai kehidupan yang cukup sempurna. Dia mempunyai kekayaan, dia mempunyai pekerjaan, dia mempunyai kisah manis soal percintan, dia mempunyai keluarga yang sering memberikan kasih sayang, dan dia mempunyai banyak lingkar pertemanan.

Aku tidak mempunyai itu semua. Bukankah itu sangat menyedihkan?

Ya, aku memang menyedihkan.

"Andai saja di dunia nyata, aku mempunyai keluarga yang menyayangiku, mungkin hidup tidak akan terlalu berat dan  menyedihkan."

Setelah aku mendapatkan perawatan, dan luka-luka kecil di tubuhku sembuh. Aku dibiarkan untuk beristirahat di kamar.

Dan di sinilah aku sekarang, berdiri di balkon kamar sambil memandangi bulan yang bersinar.

Aku sangat menyukai bulan. Selain karena dia bisa menerangi kegelapan, bulan juga cantik untuk dipandang.

Setiap melihat bulan, aku seperti mempunyai sebuah harapan. Cahaya yang bersinar terang seakan memberikanku semangat agar aku selalu bisa menjalani kehidupan.

Tok... tok...tok!

Aku menoleh ke arah pintu yang baru saja diketuk, dengan langkah gontai aku pun menghampiri pintu berwarna putih itu lalu membukanya.

Aku terpaku ketika mendapati ayah berdiri di sana sambil menggendong seekor kucing abu-abu.

"Ilo!"

"Selamat malam. Bagaimana keadaanmu, putriku?" Ayah memberikan Ilo ke pelukanku, aku tersenyum lebar, ternyata kucing itu tidak melarikan diri.

"Ayah, aku baik-baik saja. Terima kasih karena sudah membawa Ilo." Kataku dengan senyum senang.

Ayah tersenyum lalu mengusap kepalaku, "syukurlah kau baik-baik saja. Briar yang menemukan kucingmu." Balas Ayah membuatku mengangguk, "ayah ingin bicara denganmu, apa kamu punya waktu?" Tanyanya kemudian.

Aku memandang ayah, lalu mengangguk, "tentu saja. Aku punya banyak waktu, terutama jika itu untuk ayah."

Sekali lagi ayah mengusap kepalaku dengan sayang. Akhirnya aku mengajak ayah untuk masuk ke dalam kamarku, lalu kami berdua pun duduk di sofa yang ada di dalam kamar.

Aku duduk di hadapan ayah sambil memangku Ilo. Dia terlihat nyaman tiduran di pahaku.

"Apa yang ingin ayah bicarakan?" Tanyaku langsung.

Ayah memandangku sebentar, kemudian dia menghela napas panjang. "Alura, ayah sangat mengkhawatirkanmu."

"Ayah, aku baik-baik saja."

"Itu benar. Tetapi tetap saja, ayah khawatir padamu. Akhir-akhir ini banyak hal yang kau lalui, dan ayah takut terjadi apa-apa padamu." Ayah menatapku sendu, "ayah juga tahu jika kau terkena kutukan ketika berada di kota Deadow."

Pasti Alois yang menceritakannya.

"Maaf ayah, karena aku sudah  mengkhawatirkanmu. Tetapi aku benar-benar tidak apa-apa."

Ayah berpindah tempat duduk ke sampingku, dia kemudian memegang kedua pundaku dengan mata yang menatapku. "Ayah punya permintaan padamu,"

"Apa itu?"

"Tolong jangan pergi kemana-mana lagi. Jangan sampai kau terluka dan sakit lagi. Ayah tidak mau mendengar itu. Ayah ingin kau selalu ada di sini, bersama ayah dan Alois." Kata Ayah, matanya menatapku dalam, "bilang pada ayah jika ada yang mengusikmu. Laporkan pada ayah apapun itu meskipun itu hal yang sangat kecil,  ayah ingin mengetahuinya. Ayah tidak ingin kehilanganmu."

Ayah tidak ingin kehilanganmu.

Itu adalah kalimat yang di ucapkan oleh Thornes kepada Alura. Sebuah kalimat penuh harapan yang membuat Alura bertanya-tanya mengapa ayahnya mengatakan hal tersebut padanya.

Namun ternyata kalimat itu baru bisa dimengerti ketika Alura kembali ke kota Deadow untuk bertemu dengan ibu kandungnya.

Aku tersentak ketika kalimat-kalimat itu tiba-tiba saja muncul dan hilang begitu saja dipikiranku.

Apa itu?

Bukankah itu adalah isi dari cerita novel Black City? Mengapa aku baru mengingatnya lagi sekarang?

"Lura? Kau baik-baik saja?" Ayah bertanya dengan wajah paniknya, aku buru-buru menatapnya.

"A—aku baik-baik saja, ayah."

"Katakan pada ayah jika ada yang sakit."

Aku hendak menganggukkan kepalaku, tetapi entah mengapa tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing, dadaku terasa sangat sesak dan penglihatanku menjadi buram.

Kepalaku seakan-akan berputar-putar, aku pun merasa ada sesuatu yang keluar dari hidungku. Ketika aku menyentuh dan melihatnya, ternyata itu adalah sebuah cairan kental yang berwarna merah.

Itu adalah darah.

Samar-samar aku melihat ayah yang berseru-seru panik, aku bahkan merasa tubuhku seolah diangkat, namun aku tidak merasakan apa-apalagi karena pandanganku berubah menjadi gelap.








•••


Jangan lupa vomment!




Book Of The Black CityWhere stories live. Discover now