Bagian 05

22 9 1
                                    

Saat malam tiba, Alois pergi ke kamar yang diberikan. Dia bilang, dia tidur di sebelah kamarku bersama dengan Denta.

Kucing abu-abu itu yang memberikan dan menunjukan kamarnya.

Sepertinya ini rumah kucing abu-abu bermata merah itu. Tetapi, dia 'kan hanya  seekor kucing, berarti dia pun mempunyai majikan manusia 'kan?

Tetapi sejak tadi, aku tidak merasakan adanya kehadiran orang lain. Tempatnya seperti sepi dan juga sunyi.

Sebenarnya siapa ya, kucing itu? Entah mengapa tiba-tiba aku jadi lupa mengenai isi novel yang menceritakan tentangnya.

Ah, kepalaku pusing. Sebaiknya aku memejamkan mataku saja.

Sebenarnya aku tidak terlalu yakin jika di luar itu sudah malam atau masih siang. Suasananya tetap gelap dan hawanya dingin. Tetapi mendengar ada suara burung hantu, sepertinya benar jika sekarang adalah malam hari.

Mataku terpejam, aku ingin tidur. Tetapi kepalaku rasanya pusing sekali. Apa ini karena efek kutukannya belum hilang, ya?

Meskipun mataku terpejam, rasanya aku sedang berputar-putar. Kau tahu 'kan rasanya pusing dan mual itu seperti apa? Rasanya benar-benar tidak mengenakan. Tidurku jadi terasa tidak nyaman.

Di saat aku berusaha untuk menyamankan diri agar terbebas dari rasa pusing dan mual, tiba-tiba saja aku merasakan kehadiran seseorang.

Dia seperti berdiri di samping kasurku. Oh ayolah, apa disaat seperti ini akan ada penjahat yang ingin melukaiku?

Untuk berjaga-jaga, aku masih terus memejamkan mataku. Berusaha berpura-pura untuk tidur, atau mungkin jika bisa aku ingin berpura-pura mati agar orang yang saat ini berdiri tidak membunuhku.

Aku ingat, jika aku menyembunyikan pisau di belakang tubuhku. Pisau itu terselip di sabuk pinggangku. Dengan perlahan, tanganku yang tertutupi selimut mengambil benda tersebut. Tepat ketika sesuatu hendak menyentuh kepalaku, aku membuka mata dan langsung mengarahkan pisau tersebut ke depan.

Tetapi sebuah tangan menahan pergelangan lenganku. Aku berkedip, kemudian mendongak untuk menatap siapa yang melakukannya.

Ada seorang pemuda dengan rambut yang hitam legam, iris matanya berwarna kemerahan, serta tatapan matanya tajam.

Aku terdiam.

Apakah pemuda di depanku ini adalah seorang pangeran? Mengapa wajahnya sangat tampan?

"Apa kau ingin melukaiku?" Pemuda itu bertanya dengan tatapan mata yang berubah menjadi dingin.

Aku buru-buru menarik tanganku yang memegang pisau, lalu mengubah posisi tidurku untuk duduk. Tetapi kepalaku rasanya pusing sehingga tubuhku sempat sedikit limbung.

"Jangan banyak bergerak. Kutukannya belum sepenuhnya hilang." Kata pemuda itu lagi. Dia tiba-tiba saja duduk di pinggir kasur, tepat di sampingku. Kemudian dia mengarahkan tangannya ke wajahku membuatku memejamkan mata.

Ternyata telapak tangannya yang besar dan hangat itu menyentuh dahiku, dan entah bagaimana bisa tiba-tiba rasa pusing di kepalaku berangsur hilang, dan di gantikan oleh rasa tenang.

"Apa lebih baik sekarang?" Tanyanya.

Masih dengan tampang bingung, aku mengangguk.

"Kau akan sembuh total jika mendapatkan perawatan sebanyak tiga kali dariku." Kata pemuda itu lagi, kali ini dia bangkit berdiri.

Ternyata dia adalah pemuda yang cukup tinggi. Kakinya jenjang, bahunya lebar, dan dadanya bidang. Dia berdiri dengan tegap. Dia memakai kemeja, celana panjang, dan sepatu tinggi selutut yang berwarna hitam. Selaras dengan warna rambutnya yang terlihat sedikit berantakan.

Yang membuatku tertarik adalah matanya. Irisnya itu berwarna kemerahan, persis seperti kucing abu-abu yang tadi aku pegang.

Eh?

Tunggu sebentar...

"Kau siapa?" Tanyaku penasaran.

"Aku?" Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri, tentu saja aku langsung  mengangguk. Lagipula di sini tidak ada orang selain aku dan dirinya, jelas-jelas aku bertanya kepadanya. "Aku hanya seorang dokter." Jawabnya.

"Apa kau—"

"Ya. Aku kucing yang hendak kau cium." Kata pemuda itu memotong perkataanku.

Aku merasakan pipiku memanas. Aku merasa terkejut dan malu karena ternyata kucing yang tadi sempat aku pegang-pegang dan aku angkat, lalu  hendak aku cium itu adalah seorang manusia. Bahkan dia adalah seorang pemuda yang sepertinya seumuran dengan Alois dan Denta.

Rasanya aneh. Karena aku merasa sangat asing dengan pemuda tampan yang sedang berdiri itu. Aku tidak ingat jika di dalam novel Black City ada sosok pemuda seperti dia.

"Kau sebaiknya istirahat kembali. Aku akan pergi." Kata pemuda itu sambil membalikan badannya dan berjalan menuju ke arah jendela. Ketika dia naik ke atasnya, dia berbalik untuk menatapku, "namamu Lura 'kan?" Tanyanya.

Aku mengangguk, mengiyakan, "ya, Alura Thornes, kau bisa memanggilku Lura."

Pemuda itu sempat tertegun, "Thornes, ya," gumamnya yang masih terdengar olehku.

Aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk menanyakan namanya, tentu saja aku harus tahu nama dokter tampan yang  menyamar jadi kucing itu 'kan. "Kalau kau?"

"Aku Ranell. Ranell Carson."




















•••



















Book Of The Black CityWhere stories live. Discover now