Epilog

56 6 4
                                    

Sore yang cerah.

Sebelum belajar, Nera memutuskan untuk membantu Asma di kebun. Menurut biciknya, kos-kosan sedang sepi sebulan terakhir. Hanya ada satu penghuni lain di luar Nera. Asma sudah sering mengeluh soal pemasukan dan biaya operasional, karena itu Asma mulai merambah bisnis gorengan.

"Mau aku bantu jualan, Bik?" tanya Nera.

"Enggak usah. Kamu sekolah aja, yang bener." Asma menepuk bahu Nera. "Senang lihat kamu bisa berekspresi senang begitu."

Nera tersenyum. "Tapi, kalau butuh bantuan, kabari aja, Bik."

"Enggak apa, Nera. Sudah, ayo masuk. Sudah mau magrib."

Nera melangkah masuk kamarnya sambil berpikir. Ia mungkin masih penakut, efek dari apa yang dia alami selama ini. Namun, ia akan berusaha. Menjadi lebih berani tanpa dibayang-bayangi kesuraman masa lalu, mencari kebahagiaan tanpa bergantung ke orang lain. Selangkah sudah ia lalui, kini ia harus menghadapi halangan-halangan lainnya.

Nera merapikan tasnya sambil mencari buku pelajaran. Pandangannya tertumbuk ke sebuah buku. Buku gambar. Nera tersenyum tipis. Sebuah ide tercetus di otaknya. Ia mengambil buku gambar itu dan meraih pensil, lalu membuka halaman pertama.

Gambar taman itu.

****

Heza yang baru sampai rumah terperanjat. Ada kotak di meja belajarnya. Telepon pintar baru. Ia langsung berseru kegirangan, meski surat yang terdapat di bawah kotak itu agak mengurangi euforianya.

HP itu kebutuhan primer. Kalau ga ada hp, Ayah juga yang repot. Jadi Ayah beliin sekarang, tapi uang jajan bulananmu Ayah potong setengah sampai seharga hp-nya. Tolong dijaga baik-baik. Kalau hilang atau rusak lagi, cari duit sana.

"Hahaha, makasih, Ayah!" Heza bergulingan di kasur. Setelahnya, ia sibuk mengatur set up perangkat baru itu. Ia berhasil memulihkan sebagian besar datanya yang tersimpan di penyimpanan cloud, termasuk obrolannya, meski beberapa hari terakhir tidak tercadangkan. Ia langsung mengabari grup kelompok belajarnya, juga grup bersama Syafa dan Yosi. Derina dan Syafa tampaknya sedang bosan di tempat les, mereka menjawab cepat. Yosi mengespam banyak stiker. Evan hanya memberikan emot mengantuk. Aplikasi lain masih memuat data. Sambil menunggu proses selesai, Heza melepaskan pandangan ke sekeliling kamarnya. Matanya tertuju pada sesuatu di sudut tembok kamar.

Coretan itu.

"Waaah, jadinya gagal fotoin taman kemarin. Kapan-kapan, deh." Heza berjongkok, mengamati gambar itu lagi dengan lebih dekat, seperti dirinya ketika ... sembilan tahun lalu. Tangannya bergerak menyentuh coretan itu. Seketika, sesuatu menyambar tangannya, seperti aliran listrik. Kali ini, gambaran sudut taman itu terlihat jelas bagi Heza. Jembatan melengkung dengan aliran sungai di bawahnya, bangku taman, semak-semak berbunga, pepohonan, dan dua orang ....

"Dua orang itu?" Heza kaget sendiri. Jadi, omonganku waktu itu ... benar?

Heza meraih ponselnya. Ada satu pesan baru. Obrolan pribadi, dari Nera.

Brunnera: Heza, gambarku kemarin belum selesai, karena belum ada satu orang lagi. Kemarin, yang bikin aku takut itu karena tiba-tiba udah ada gambar satu orang di sini. Itu kamu. Terus aku kepikiran hal-hal buruk, sampai aku ketemu kamu di taman kemarin.

Sekarang aku sadar, itu memang hanya pikiran burukku. Kamu baik-baik aja, kan. Jadi, mungkin ga papa kalau aku mau nambahin satu orang lagi, berdasarkan ingatanku kemarin ....

Nera mengirimkan gambar di bawahnya. Heza membukanya sambil tersenyum simpul.

Dua orang itu. Sosok laki-laki yang tampak sedang menenangkan sosok perempuan yang sedang menangis. Heza langsung tahu itu siapa.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now