19. Nera

26 8 3
                                    

Otw banyak sudut pandang

Met membaca.

****

"Heza, aku takut."

Kalimat itu membuat Heza menghentikan kegiatannya sejenak. "Takut?"

Nera mengangguk pelan. Ia masih terisak, tetapi tangisannya sudah berhenti. "Aku merasa, ada sesuatu yang aku lupakan."

"Sesuatu?"

"Aku tinggal di Jakarta sampai mau masuk SD. Itu katanya. Aku lupa apa yang terjadi selama aku TK. Dan ...."

Diam beberapa lama. Heza lanjut mengeluarkan motor, lalu menyalakannya.

"Aku merasa, aku melihat hal yang buruk." Nera berjalan mendekat dengan agak ragu. "Tapi, samar ... enggak kayak firasatku yang biasa."

"Kapan? Apa setelah aku nunjukin gambar di tembok?"

Nera tercenung sesaat. "Gambar itu ... pas aku sentuh, aku merasa tersengat. Terus, aku pingsan ...?"

Heza menghela napas. "Sudahlah. Naik aja sini."

Nera menurut.

"Tunjukin arahnya, ya," ujar Heza. "Aku lewat jalan tikus sampai dekat sekolah. Kalau udah di sana, arahin aja."

Motor bebek itu melaju pelan di jalanan perumahan. Heza sengaja tidak terlalu cepat, kalau-kalau ada hal lain yang mau diomongkan.

"Heza ...."

"Ya?" Heza berusaha menyahut, meski entah Nera mendengarnya atau tidak.

"Mungkin, cuma mungkin, rumahmu itu ...."

Diam.

"Rumahku kenapa?"

"Eh ... enggak jadi." Nera terdengar amat ragu.

"Kamu dulu tinggal di sana?"

Tak ada reaksi.

"Kamu merasa kenal sama isinya?"

"Uh ... Heza ...."

Heza ingin kesal, tetapi ia senang mendengar Nera memanggil namanya terus-menerus.

"Sebenarnya, aku enggak merasa itu masalah. Malah, aku senang kalau itu sungguhan rumah masa kecilku. Tapi ... aku merasa, ada yang memberatkan ...."

"Nera, maaf."

"Kenapa?"

"Mungkin, sebaiknya, kamu enggak ke rumahku." Heza tanpa sadar mengeratkan genggamannya–membuat motor melaju makin kencang.

"Eh?"

"Aku takut, ada memori burukmu yang terpicu."

Tak ada tanggapan setelahnya. Motor terus melaju, kini jalan raya mulai tampak.

"Ke kiri, belakang sekolah," ucap Nera.

Heza menurut. Ia arahkan sepeda motornya sesuai petunjuk Nera. Sampai mereka berhenti di depan gerbang sebuah rumah.

"Kos-kosan?" Heza bertanya sangsi.

"Ya, aku ngekos. Tapi enggak bayar. Hehe." Nera tampak berekspresi aneh. Wajahnya semrawut akibat menangis tadi, tetapi mulutnya menyunggingkan senyum sampai kelihatan gigi. "Makasih sudah diantar, Heza."

"Oke deh, aku balik dulu." Heza bersiap memacu motornya, tetapi tangan Nera tiba-tiba menyentuh pundaknya. Ia langsung menoleh.

"Mungkin, kamu ada benarnya," ucap Nera pelan. "Ingatanku seperti terhapus sebelum pindah ke Palembang. Mungkin, memang ada kejadian buruk."

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now