14. Kantin

19 7 0
                                    

Jam makan siang hampir selalu ramai.

Heza mengecek jam di ponselnya. Masih ada lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Bisalah ia gunakan kesempatan itu untuk makan dengan kilat. Namun, bagaimana dengan Nera?

"Mau jajan?" tawar Heza.

Nera mengangguk.

"Aku duduk di sana, tapi kalau kamu mau duluan ke kelas silakan," ucap Heza sambil menunjuk salah satu meja yang cukup lengang. Ada beberapa muka familier bagi Heza sehingga ia memilih di sana.

"Oke," jawab Nera. "Paling aku cari kamu lagi nanti."

Heza hanya mengangguk. Ah, mungkin Nera cuma mau cari teman ke kantin, pikir Heza, berusaha menghilangkan prasangka buruknya tadi. Ia melangkah ke salah satu kedai dan membeli paket nasi. Beginilah punya ibu yang sangat aktif di luar sampai-sampai jarang memasak. Heza sudah terlalu sering masak sendiri, sampai-sampai ia jenuh membuat bekal. Kalau ia sampai sungguhan ngambek, barulah Rosa membuatkannya makanan. Hal yang cukup jarang terjadi karena Heza justru senang-senang saja.

Meski begitu, kadang Heza rindu juga masa-masa lalu, ketika bundanya masih belum seaktif sekarang. Yang paling ia rindukan tentu camilan sore hari sebelum makan malam.

Wkwkwk, apa aku ini anak mami?

Heza menyusuri kantin dan sampai di meja yang ia tunjuk tadi. Ia menyapa beberapa rekan robotiknya di sana dan turut bergabung dengan obrolan. Tak lama, mereka beranjak lebih dulu dan pamit pada Heza. Wajar saja, mereka sudah di sana sejak tadi.

Heza tertawa miris dalam hati. Aku ditinggal sendirian banget? Ia lantas buru-buru menghabiskan makanannya. Mungkin ia akan jajan minum lebih dahulu sebelum kembali untuk nanti dibawa ke kelas.

Kantin masih ramai meski sudah menjelang jam pelajaran. Tak jarang, meski bel masuk sudah berbunyi, beberapa penjaja masih sibuk melayani murid yang memilih jajan di waktu-waktu mepet. Guru piket pun tidak selalu menyisir kantin, meski banyak target empuk di sana. Terlalu banyak, sampai melelahkan.

"Es teh satu, Mbak!" pesan Heza ke penjaga kios minuman. Ia terperanjat karena tiba-tiba ada yang mencengkeram bahunya.

"Heza, Heza." Itu Nera. Ekspresinya aneh. "Udah bel belum?"

"Belum?" Heza agak kaget, baik dengan Nera yang muncul tiba-tiba maupun dengan pertanyaannya.

"Beli apa di sini?" Nera masih mencengkeram bahu Heza.

"... Es teh. Kenapa?"

Nera menggeleng. Rambutnya yang tergerai nyaris menutupi muka. "Aku nunggu kamu aja, deh."

"Udah makan?" tanya Heza basa-basi.

"Udah." Nera menjawab langsung, sepertinya ia sedang tak terlalu minat bicara. Kepalanya sejak tadi menunduk, pun mulutnya bungkam.

Dia merasa buruk? batin Heza. Ia enggan menanyakannya, tetapi mungkin ia tahu apa yang harus dilakukan. Membiarkan anak perempuan itu ada di dekatnya, seperti yang sudah ia janjikan.

Lagian, kamu sendiri senang, 'kan?

Heza merengut. Bahkan pikirannya sendiri sekarang sudah berani meledeknya.

"Mau kujajanin?" tawar Heza spontan.

"Eh?" Nera mengangkat wajahnya. "Enggak, enggak usah. Udah mau masuk."

"Buat minum di kelas, oke?" Heza tak peduli, ia tetap memesan satu es teh lagi pada simbak penjaga kios. Nera tak sempat–atau tak sampai hati?--menolak, jadi ia hanya tercenung.

Ketika mereka akhirnya berjalan ke kelas, barulah Nera melepas cengkeramannya. Ia kini ganti menggigiti sedotan es tehnya. "Makasih," gumamnya.

"Kenapa? Tahu-tahu kayak orang takut begitu," ucap Heza.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now