30. Pulang

25 7 0
                                    

Malam itu, Firnanda datang membawa ponsel Heza yang sudah selesai diservis dan kertas-kertas titipan Heza.

"Ini udah robek?" Firnanda menunjuk dua lembar kertas dengan bekas robekan.

"Hehe, iya, Yah. Simpan aja." Heza buru-buru mengambilnya. Semoga saja Firnanda tidak sadar bahwa yang digambar itu adalah Heza.

Kertas-kertas itu adalah tugas mata pelajaran seni budaya milik Heza dan ketiga temannya. Besok, Derina dan Evan akan membesuk. Sekalian saja Heza memberikan tugas yang tertinggal di rumahnya itu. Heza cukup senang karena ponselnya berfungsi normal, meski beberapa hal harus diatur ulang setelah tereset total. Ia buru-buru membuka grupnya. Sebagian besar pesan sudah dicadangkan di cloud, meski yang baru-baru menghilang.

Kalau mau jenguk, besok saja.

Begitu pesan Heza pada semua temannya. Pasalnya, ia tak mau ketahuan kalau ia sebelahan dengan Nera ... paling tidak, sampai malam ini.

"Nera sudah lebih baik, mungkin setelah ini bisa pulang." Begitu kata Asma. "Habis diapain sama Heza?"

"Mungkin aku rukiah," jawab Heza asal.

"Habis di—"

"Hoi!" Heza buru-buru memotong sebelum Nera menyelesaikan kalimatnya.

Firnanda geleng-geleng kepala. "Begini ya kalau sebelahan sama teman. Jadinya rusuh."

Heza nyengir kuda. "Kalau sampai harus dirawat lagi—eh! Jangan pelototin aku!"

Nera hanya memberi isyarat dengan sorot mata tajam. Jangan doa aneh-aneh.

Malam itu, Heza agak pangling melihat Nera. Anak itu tiba-tiba mengikat rambutnya, tidak membiarkan rambutnya tergerai sampai menutupi wajahnya seperti biasa. Bukan hanya itu, Nera jelas-jelas tersenyum ke arah Heza.

Buset, dah! Bikin deg-degan aja!

"Pamit, ya. Makasih Heza." Nera membungkuk kecil. Semburat kemerahan tampak di pipinya. Ia kemudian pamit bergantian pada Rosa dan Firnanda. Benar-benar ... anak yang baik.

Jangan bilang Bunda lagi mikir mantu! Pikiran Heza makin melantur.

Lepas kepergian Nera, Rosa dan Firnanda kompak tertawa, meledek Heza yang wajahnya memerah.

"Yah, kayaknya kita udah punya calon," ujar Rosa sambil terkekeh.

"Heza, Ayah approve." Firnanda mengacungkan dua jempolnya sambil nyengir lebar.

Heza merengut, meski mau tak mau akhirnya nyengir juga. "Ayah, dia beneran Nera anak pemilik rumah dulu."

"Benar, 'kan?" Firnanda membenarkan kacamatanya. "Jadi, dia beneran anak yang kamu cari-cari?"

"Kok Ayah masih ingat?" Seingat Heza, setelah beberapa bulan setelah pindah ke sana, ia tak lagi membicarakan soal imajinasi—atau halusinasinya. Ia hanya menceritakan itu pada Ayne dan dua kawan SMP-nya.

"Gimana Ayah bisa lupa? Kamu gemesin banget waktu itu!" Firnanda tertawa.

Heza menutup wajahnya, malu.

"Ayah penasaran sebenarnya. Kamu bisa tahu soal anak perempuan pemilik rumah sebelumnya ... dari mana?" Firnanda menatap Heza. "Apa kamu benar-benar dihantui?"

Heza mengangkat bahu. "Takdir."

Firnanda tak menanyakan lebih jauh. Ia berbalik dan kini sibuk dengan ponselnya.

Sementara itu, Heza merenung. Kalau benar gambar itu, sisa-sisa gambar di dinding kamarnya yang membuatnya terhubung dengan Nera ... bagaimana bisa?

Hidup memang penuh misteri. Dan sekarang, Heza berpikir keras bagaimana cara menemukan taman yang tak ia tahu wujud aslinya bagaimana. Apakah akan bisa ia temukan dengan kebetulan? Atau malah harus diciptakan?

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now