16. Rekonsiliasi

26 8 0
                                    

Pssst
Babnya panjang dan bikin Tare sakit perut.
Peringatan ini enggak penting, cuma biar yang baca enggak syok aja (?)

Selamat membaca.

****

"Heeeejaaaaaa!"

Heza tersentak karena pagi itu, Syafa menghampirinya sambil memasang tampang memelas.

"Kamu enggak tahu? Aku panik tahu! Kamu di-chat enggak bales, padahal aku tahu kamu biasa pulang sore!" Syafa mengentakkan kakinya. "Kamu enggak kepanggang, 'kan?!"

"Eh ... sorry. Aku enggak cek hape semalam." Heza cengengesan.

Tidak bohong. Setelah mengirimkan serangkaian pesan yang cukup panjang pada Nera, berikut foto gambar di tembok kamarnya, Heza langsung membuat ponselnya dalam mode airplane. Ia harap-harap cemas, tetapi kecemasannya rupanya lebih tinggi–mungkin jadi disebut "cemas-cemas harap." Heza takut akan tanggapan Nera. Ini perasaan asing yang baru pertama kali ia rasakan. Seolah, ia sedang berusaha mengulik rahasia orang lain. Hal yang tak pernah Heza lakukan sebelumnya. Kalau orang lain mau memberi tahu rahasia, silakan, ia tidak akan "ember". Namun, ia tidak akan mencari tahunya sendiri. Hidupnya lebih berharga daripada berlagak jadi detektif.

"Hapemu mati?" Syafa masih histeris. "Aku yang jadinya dispam Yosi, tahu!"

"Wah, baguslah. Yosi ngespam chat kamu." Heza menjawab tak acuh.

"Bukan itu poinnya!"

Beberapa hari terakhir, tanpa tahu duduk perkara yang terjadi, Heza memang terlibat dalam perang dingin antara Yosi dan Syafa. Ia sibuk memberi petuah tanpa mencari tahu alasannya. Sekarang, Heza capek sendiri. Ia memutuskan untuk membiarkan dua kawannya itu mencari jawaban yang entah apa–ia tak paham.

"Yang biasanya pulang sore lagi ... Nera! Mana Nera?"

Mendengar pertanyaan itu, jantung Heza seakan mencelus. Ia sengaja belum mengaktifkan lagi ponselnya, sampai pukul delapan pagi ini.

Syafa berlalu sambil memanggil-manggil Nera. Heza diam saja, menenggelamkan dirinya di antara murid-murid lain. Ia juga tak tahu Evan atau teman-teman robotiknya ada di mana, dan ia tak berminat mencari tahu. Ia mendengarkan arahan dari para guru dan staf sekolah, imbauan untuk menggalang dana, dan lain sebagainya.

Rupanya, kejadian kemarin dijadikan ajang untuk kerja bakti satu sekolah, meskipun yang kacau sampai lebur hanya kantin dan koperasi. Heza tak mempermasalahkannya. Toh, pulangnya juga lebih cepat.

Kalau aku sampai papasan sama Nera, berarti kita jodoh, batin Heza iseng. Ia sedang membawa sapu bergagang panjang, siap untuk membersihkan langit-langit ruang robotik, ketika tiba-tiba saja Nera melintas.

Tidak, itu tidak tiba-tiba saja. Itu bukan kebetulan. Dan lagi, Nera tidak melintas begitu saja.

Anak itu berdiri di luar ruang robotik yang kebanyakan berdinding kaca—untuk keperluan displai—dan menatap ke arah dalam.

Menatap Heza.

Tak urung, Heza merinding dibuatnya. Ia langsung sok sibuk membersihkan langit-langit.

Jodoh sih jodoh, tapi kok horor begini?

Akhirnya, tugas Heza selesai juga. Ia tak tahu harus melakukan apa untuk mengalihkan atensi, pun Nera masih menatapnya dari luar.

Gigih betul.

Heza akhirnya mengeluarkan ponselnya. Ia nyalakan dan ia sambungkan ke internet. Beberapa lama kemudian, notifikasi pesan bermunculan. Paling banyak dari Syafa, kedua Yosi. Ketiga ... grup.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now